Bireuen – detikperistiwa.co.id
Suara ketidakpuasan masyarakat Desa Abeuk Budi, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen, semakin keras menggema. Warga menuntut keterbukaan total atas pengelolaan Dana Desa yang mereka nilai penuh kejanggalan, tidak transparan, dan jauh dari semangat pemberdayaan rakyat.
Selama ini, laporan pertanggungjawaban Dana Desa yang seharusnya disampaikan setiap tahun justru hanya dilakukan tiga tahun sekali tanpa penjelasan yang jelas. Kondisi ini membuat warga semakin kehilangan kepercayaan terhadap aparatur gampong.
“Kami sudah pernah menegur Tuha Peut, tapi tidak ada perubahan. Seolah semua hal yang berkaitan dengan uang rakyat hanya dikelola oleh segelintir orang,” ujar seorang warga, Jumat (1/11/2025).
Kritik juga mengarah pada program ketahanan pangan tahun 2024, di mana warga hanya menerima dua ekor bebek dengan nilai sekitar Rp100 ribu per kepala keluarga. Warga menyebut bantuan itu tidak masuk akal dibandingkan besarnya anggaran Dana Desa yang seharusnya digunakan untuk program produktif.
“Program ketahanan pangan itu hanya formalitas di atas kertas. Tidak ada manfaat yang dirasakan rakyat,” tegas salah satu tokoh masyarakat.
Lebih jauh, warga juga menyoroti dugaan penyimpangan besar pada pengelolaan BUMG (Badan Usaha Milik Gampong). Dana ratusan juta rupiah yang seharusnya digunakan untuk pemberdayaan masyarakat justru dipakai untuk membeli lima petak tanah senilai lebih dari Rp500 juta. Namun hingga kini, tidak ada satu pun hasil ekonomi yang terlihat.
“Kalau uang sebanyak itu digunakan untuk usaha masyarakat, tentu bisa membuka lapangan kerja. Tapi ini malah jadi tanah kosong yang tak berguna,” ujar warga lainnya dengan nada kesal.
Tak berhenti di situ, masyarakat juga mengungkap dugaan penyimpangan dalam program pengembangan UPPO (Unit Pengelolaan Pupuk Organik) kelompok Tunas Abadi yang hingga kini tidak jelas arah dananya. Program yang telah berjalan sejak tahun 2021 disebut tidak menunjukkan hasil sama sekali.
“Dari tahun 2021 sampai sekarang, tidak ada satu pun lembu yang dibeli dari dana UPPO itu,” ungkap warga sekitar.
Lebih mengejutkan lagi, warga mengaku pernah melihat lembu milik pribadi seseorang dimasukkan ke kandang hanya untuk keperluan dokumentasi foto pertanggungjawaban program.
“Lembu pribadi disuruh masuk kandang supaya difoto, lalu dibayar seratus ribu rupiah per ekor. Itu hanya akal-akalan supaya laporan terlihat berjalan,” tutur seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Dari pihak Tuha Lapan yang dapat dikonfirmasi terkait berita ini membenarkan adanya sejumlah kejanggalan dalam pengelolaan Dana Desa Abeuk Budi.
Sementara itu, saat dikonfirmasi, Sekretaris Desa (Sekdes) mengaku bahwa bantuan ketahanan pangan memang hanya berupa dua ekor bebek per kepala keluarga, serta membenarkan adanya pembelian tanah. Ia juga mengakui pernah mengambil uang sekitar Rp20 ribu hingga Rp30 ribu per orang untuk pengurusan KTP.
Selain dugaan penyimpangan dana, warga juga mempersoalkan maraknya pungutan liar (pungli) dalam pelayanan administrasi desa oleh perangkat desa. Untuk memperbaiki KTP rusak, warga mengaku harus membayar Rp200 ribu per orang, padahal layanan tersebut seharusnya gratis sesuai aturan pemerintah.
Hal serupa terjadi dalam proses pembuatan dan pengesahan akta jual beli tanah yang disebut penuh pungutan tambahan tanpa dasar hukum yang jelas.
“Setiap urusan selalu ada biaya tambahan. Kalau tidak bayar, prosesnya dipersulit,” kata seorang warga lainnya.
Menurut penilaian warga, pemerintahan desa periode 2019–2024 dianggap sangat tidak transparan, baik dalam pengelolaan Dana Desa maupun dana bantuan lainnya seperti program Starting. Mereka mendesak agar seluruh penggunaan dana tersebut diaudit secara menyeluruh, karena tidak ada satu pun hasil nyata yang dirasakan masyarakat.
“Sayang sekali, masyarakat khususnya di Desa Abeuk Budi tidak merasakan dampak dari dana bantuan yang begitu besar karena tidak tepat sasaran,” ujar warga.
Beragam dugaan penyimpangan ini membuat warga menuntut agar pemerintah kecamatan, inspektorat, dan aparat penegak hukum segera turun tangan untuk melakukan audit menyeluruh terhadap keuangan dan administrasi Desa Abeuk Budi. Mereka menegaskan bahwa perjuangan ini bukan sekadar keluhan, melainkan bentuk kepedulian terhadap keadilan dan hak rakyat kecil.
“Kami tidak akan diam. Uang desa adalah milik rakyat, bukan milik pribadi. Jika tidak ada tindakan, kami siap melapor ke penegak hukum,” tegas seorang warga.
Masyarakat berharap agar seluruh proses pemerintahan desa dikembalikan pada prinsip transparansi, musyawarah, dan keadilan. Mereka juga meminta agar pihak berwenang segera melakukan pemeriksaan atas setiap dugaan penyimpangan dan pungli yang mencederai amanah rakyat.
“Desa Abeuk Budi harus bersih. Kami ingin keadilan ditegakkan, bukan disembunyikan,” tutup salah satu tokoh masyarakat dengan nada tegas.
Detik Peristiwa




