Opini  

Islam Tak Butuh Kartu Anggota: Sebuah Tafsir Semiotik Atas Fantasisme Organisasi 

Jember |Jatim |Detikperistiwa.co.id 

“Siapa Tuhanmu?”Bukan

“Dari Ormas Mana Kamu?”

Itulah hal yang pasti kita hadapi saat di alam barzah. Tak akan ada pertanyaan tentang keanggotaan dalam organisasi. Tak ada malaikat yang akan bertanya, “Apakah engkau NU atau Muhammadiyah?” Tak ada pemeriksaan kartu tanda anggota. Namun yang ditanya adalah sebuah esensi:
Siapa Tuhanmu?
Apa agamamu?
Siapa nabimu?

Namun realita kehidupan dunia keislaman khususnya di Indonesia, menunjukan bahwa simbol-simbol organisasi keislaman kerap kali menggantikan makna-makna ilahiyah itu sendiri.

NU dan Muhammadiyah, dua ormas besar yang sejatinya lahir dari kecintaan terhadap ilmu dan semangat pembaruan Islam, kini telah mengalami transformasi makna yang mengkhawatirkan: dari gerakan pemikiran menjadi sekte identitas.

Mari kita bedah bersama beberapa poin yang diharapkan mampu me”refresh” pemahaman kita bersama terhadap permasalahan ini.

1. Semiotika Islam: Membaca Tanda, Bukan Terjebak Padanya

Dalam kajian dengan pendekatan semiotika, khususnya sebagaimana yang disampaikan oleh Roland Barthes, simbol tak pernah berdiri sendiri. Ia selalu memuat lapisan-lapisan makna, dari denotasi hingga konotasi, bahkan menjadi mitos ketika ia diasosiasikan dengan nilai-nilai sosial yang seakan sakral.NU, dengan sorban, sarung, dan tahlilnya. Muhammadiyah, dengan jas, dasi, dan pengajian rasionalnya. Keduanya adalah simbol representasi dari corak keberislaman yang kontekstual. Tetapi saat simbol-simbol ini diperlakukan sebagai satu-satunya jalan, bahkan lebih tinggi dari substansi Islam itu sendiri, maka kita sedang menyaksikan apa yang disebut Barthes sebagai mitologisasi: ketika tanda kehilangan maknanya yang pertama dan hanya menjadi alat dominasi sosial.

2. Fanatisme: Ketika Tanda Menenggelamkan Makna

Kita hidup di tengah zaman ketika masjid dipetakan berdasarkan afiliasi ormas. Di sejumlah tempat, ustaz tertentu “haram” mengisi ceramah karena dianggap “bukan golongan kita.” Bahkan acara kematian dan akad nikah pun terkadang tak luput dari politisasi simbol-simbol ormas.

Fanatisme terhadap NU atau Muhammadiyah bukanlah bentuk kecintaan kepada Islam, melainkan ketertinggalan dalam memahami Islam. Ia seperti seseorang yang mencintai Al-Qur’an sebagai mushaf, tapi menolak maknanya. Ia mencium kitab, tapi menolak ajarannya yang menembus batas kelompok.

Inilah yang disebut Jean Baudrillard sebagai simulacra, realitas yang digantikan oleh representasi, sehingga kita hidup dalam hiperrealitas: simbol-simbol Islam lebih penting daripada Islam itu sendiri.

3. Realitas Kebangsaan: Dari Persaudaraan ke Polarisasi

Fanatisme ormas tak hanya menggerogoti substansi agama, tapi juga mengancam persaudaraan kebangsaan. Di kampus, di birokrasi, bahkan dalam sistem sosial yang paling mikro seperti RT dan desa, kadang muncul faksi-faksi berbasis “kelompok.” Lalu lahirlah pengucilan, labelisasi, dan pembenaran sikap eksklusif yang dikemas dalam tameng “ukhuwah.”

Padahal, sejatinya, keindahan Islam Nusantara ada pada keberagamannya. NU dan Muhammadiyah justru menjadi kuat ketika keduanya saling mengisi, bukan saling mengunci makna kebenaran dalam bingkai sektarianisme baru.

Sudah saatnya kita berani menyeberang. Bukan menyeberang untuk meninggalkan ormas, tetapi untuk meninggalkan fanatisme buta yang menyumbat pikiran dan akal sehat. Sudah saatnya kita bertanya: “Apakah saya NU karena nilai-nilainya, atau hanya karena warisan?” “Apakah saya Muhammadiyah karena semangat ijtihadnya, atau karena kebencian terhadap simbol lain?”

Islam tidak butuh badge. Islam tidak lahir dari kongres. Islam bukan hasil muktamar. Ia hadir sebagai sistem tanda yang mengarahkan manusia menuju tauhid, amal saleh, dan kemanusiaan universal.

“Jika saat kita mati hanya membawa bendera ormas, tapi miskin iman dan amal,apa gunanya?”

Atau…

“Jika kita hidup membela simbol, tapi menista sesama muslim karena berbeda jalan, bukankah artinya kita sedang menyembah simbol lebih daripada Tuhan?”

Mari kembali ke akarnya. NU dan Muhammadiyah adalah jalan. Tanamkan dalam hati dan pikiran yang bersih bahwa, Tuhan bukanlah NU dan Nabi bukanlah Muhammadiyah. Islam Jauh lebih besar dan mulia dari keduanya.

Pada akhirnya, mari kita bermunajat kepada Allah, Semoga kita semua tidak terjebak dalam pemikiran yang sempit dan fanatisme buta.

Sehingga kita terhindar dari kerugian,baik di kehidupan dunia dan akherat. Andi Suprapto, S. Sos, M. Si

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://detikperistiwa.co.id/wp-content/uploads/2024/03/IMG-20240311-WA0045.jpg