Batam – detikperistiwa.co.id
Kirab boleh dimaknai secara bebas, yakni sebuah prosesi atau arak-arakan apapun berkerumun yang didagelankan. Di mana sekelompok orang berjalan bersama secara teratur dan berurutan, biasanya dalam suatu acara atau upacara.
Istilah kirab seringkali dikaitkan dengan pawai atau arak-arakan, terutama dalam konteks budaya atau perayaan. Di antaranya, seperti, arakan Kereta kencana pada HUT ke-80 RI dan yang diiringi oleh 145 kuda untuk bendera dengan teks proklamasi menuju Istana. Arakan tersebut, dikawal voorijer dan diikuti oleh pasukan berkuda. Bendera merah putih tersebut nantinya diserahkan Presiden Prabowo Subianto sebagai Inspektur Upacara (Irup) kepada pembawa baki untuk dikibarkan saat upacara detik-detik proklamasi. Di samping, rombongan arakan mengenakan pakaian simbol seluruh kerajaan Indonesia.
Pakain dikenakan rombongan yang bersimbolkan kerajaan Indonesia, tidak mesti dikaitkan pula dengan indikasi Mas Dhanu tentang bersatunya raja-raja Nusantara yang moksa untuk menghadapi akhir zaman /dukhon. Sebagaiman goresan saya tentang “Islam, Moksa Mas Dhanu” di Pedoman Karya, dimuat hari Ahad, 10/8/ 2025. Mengindikasikan Moksa merupakan saduran dari istilah agama Hindu yang merujuk pada kebebasan spiritual tertinggi.
Di mana, esensi dari pembebasan yang dimaknai sebagai siklus kelahiran dan kematian (samsara) dan keterikatan duniawi, sehingga jiwa (Atman) dapat bersatu dengan Brahman (Tuhan). Dalam konteks ini, moksa seringkali diartikan sebagai kebahagiaan abadi atau pembebasan dari penderitaan.
Meskipun, memiliki tujuan yang sama (kebebasan), moksa lebih umum dalam Hinduisme, sedangkan nirwana lebih umum dalam Buddhisme.
Nirwana dalam Buddhisme juga merujuk pada pembebasan dari penderitaan dan siklus kelahiran kembali, tetapi dengan fokus pada pemahaman yang lebih mendalam tentang kekosongan (sunyata).
Namun, agama Islam, tidak ada konsep moksa dalam pengertian Hindu, yaitu pembebasan total dari siklus kelahiran dan kematian untuk bersatu dengan Brahman. Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia ini adalah fana dan kehidupan akhirat adalah tujuan akhir, yang dicapai melalui ketaatan pada ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Tingkat derajat ketataan yang Lillahi secara tulus dan tulen menjadi wujud ketakwaan sesungguhnya sehingga membedakan derajat kemanusiaan berinsan kamil dengan barisan yang ber_asfala safilin.
Insan Kamil dan Asfala Safilin
Insan Kamil, dalam konteks spiritualitas Islam, merujuk pada manusia sempurna yang telah mencapai keselarasan sempurna antara dimensi spiritual, intelektual, dan moral. Konsep ini menggambarkan individu yang berhasil menyelaraskan diri dengan kehendak Allah dan menjadi cerminan sifat-sifat ilahi dalam tindakannya.
Insan Kamil bukan hanya individu yang saleh, tetapi juga telah mencapai tingkatan makrifat (pengetahuan spiritual mendalam) dan menyatu dengan hakikat ilahi.
Insan Kamil dipandang sebagai manifestasi sempurna dari nama dan sifat-sifat Allah di muka bumi, menjadikannya sebagai khalifah (pemimpin) yang bijaksana dan bertanggung jawab.
Konsep insan kamil menjadi tujuan bagi setiap Muslim dalam menjalani kehidupan, yaitu untuk mencapai kesempurnaan dalam segala aspek. Hal ini melibatkan proses penyucian, pengembangan potensi, dan upaya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah agar menibgkatkan derajatnya sehingga tidak menjadi hamba yang asfala safilin/sampah binatang yang melata. Sebagaimana dinyatakan dalam QS At-Tin: 5, yang berarti “Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”
Esensi diksi asfala safilin dalam konteks surat At-Tin, yakni menggambarkan potensi manusia untuk jatuh ke derajat yang paling rendah serendahnya. Jika, ia menyimpang dari kibaran jalan yang benar sebagai bendera kehidupan yang merdeka dan bercahaya Ilahiyah nan benderang.
Merdeka
atau mati
Menjadi
diksi
Pahlawan Sejati
(07:17. 17/8/ 2025)
Dirgahayu Republik Indonesia ke-80, 17 Agustus 2025, tentu di dalam merayakan bukan hanya sejarah perjuangan Pahllawan sejati, tetapi juga perjalanan panjang yang membentuk jiwa raga sejati. Menjadi bangsa yang merdeka dan kuat, bah berkibarnya bendara merah putih bangsaku nan jaya.
Berkibar Benderaku
Berkibarlah benderaku sebagai perwira sejati berhingga langit jingga. Melampui awan kelabu
dan gemerlapan bintang bertaburan. Namun, tetap sebagai purnama bertakbir Allahu Akbar.
Berkibar ‘tuk menghatam para pencundang yang gempita dalam kelam gelap gulita. Di mana, perilaku para pencundang yang hanya berani mengepalin tangan dengan senyapan dungu hampa pelita
Berkibarlah, wahai, bendera Indonesiaku tercinta nan abadi ‘tuk berkibar guna melintasi zaman dalam bertakbir !
Jadi, sekalipun, ada di antara manusia yangberkibar untuk melintasi jalan zaman dengan kirab dan atau moksa. Tentu, yang ditempuhnya di dalam melintasi zamannya, yakni berdasarkan durasi kadar logika batinnya yang berkibar. Logika batin yang dikibarin, baik berkadarkan mata nurani Ilahiyah atau atas kesesatan nyata menjadi pilihan ke_asfala safilin kehidupannya berkalam._Wallahu’alam.
Editor : Nursalim Turatea