Berita  

Bekasi: Merajut Keadilan di Tengah Pembangunan yang Pesat

 

Bekasi,detikperistiwa.co.id  – Di tengah geliat pembangunan infrastruktur dan hiruk-pikuk pusat perbelanjaan yang kian menjamur, Kota Bekasi menampilkan dua wajah yang kontras. Di satu sisi, ia adalah kota satelit yang tumbuh pesat; di sisi lain, denyut nadi keadilan sosialnya terasa begitu lemah. Aspirasi yang baru-baru ini disuarakan oleh masyarakat adalah sebuah alarm yang tak dapat diabaikan. Inilah saatnya untuk merajut kembali kain sosial yang mulai terkoyak, memastikan bahwa laju pembangunan yang pesat ini benar-benar dirasakan dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir elite. Seperti kata pepatah Sunda, “Ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak” (Bersatu dalam suka dan duka), kita harus bahu-membahu membangun Bekasi yang lebih baik.

Kesenjangan sosial paling nyata terhampar dalam sektor pelayanan kesehatan. Fenomena antrean panjang bagi pasien BPJS, fasilitas yang kerap kurang memadai, serta diskriminasi yang terasa, bukan lagi sekadar keluhan individual, melainkan masalah sistemik yang terkonfirmasi oleh berbagai studi dan laporan media. Kondisi ini menciptakan persepsi bahwa pasien BPJS adalah “warga kelas dua,” sebuah pandangan yang jelas bertentangan dengan prinsip keadilan. Untuk mengatasi permasalahan ini, Pemerintah Kota Bekasi wajib melakukan audit independen terhadap fasilitas kesehatan. Hasil audit tersebut akan menjadi dasar krusial bagi perbaikan sistem dan alokasi sumber daya yang lebih adil. Langkah ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, serta Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 29 Tahun 2022 tentang Penjabaran APBD Tahun Anggaran 2023, yang secara tegas menekankan alokasi anggaran yang tepat sasaran untuk pelayanan kesehatan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melalui Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit dan pengawasan ketat terhadap implementasi program jaminan kesehatan nasional di tingkat provinsi, memegang peran krusial dalam memastikan kesetaraan pelayanan. Kunjungan Presiden Joko Widodo ke RS Hasan Sadikin Bandung, yang menyoroti isu pelayanan BPJS, semakin menegaskan relevansi dan urgensi permasalahan ini di Jawa Barat. Kesenjangan ini bukan hanya soal angka statistik, melainkan juga soal martabat kemanusiaan. “Adigang, adigung, adiguno” (Jangan sombong dengan kekuatan, kedudukan, atau kepandaian), ingatlah bahwa kesuksesan sejati adalah ketika kita bisa berbagi dengan sesama.

Selain kesehatan fisik, isu kesehatan mental juga tak kalah mendesak untuk diperhatikan. Jika kesenjangan di layanan kesehatan fisik mengkhawatirkan, permasalahan kesehatan mental juga tak boleh diabaikan. Usulan untuk menyediakan fasilitas terpisah bagi pasien gangguan jiwa di RSUD Jati Sempurna sangat relevan, mengingat data dari Kementerian Kesehatan yang menunjukkan peningkatan signifikan kasus gangguan mental, terutama di kalangan generasi muda. Lingkungan yang tenang dan suportif sangat esensial bagi proses pemulihan pasien, dan investasi dalam fasilitas kesehatan mental merupakan investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas hidup warga Kota Bekasi. Tindakan ini konsisten dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang secara eksplisit menekankan hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, termasuk pelayanan kesehatan jiwa. Pemerintah Kota Bekasi juga dapat merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, guna memastikan anggaran kesehatan jiwa dikelola secara efektif dan efisien. Di tingkat provinsi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Jiwa yang lebih spesifik, mencakup standar fasilitas dan alokasi anggaran untuk pasien gangguan jiwa di rumah sakit daerah, demi memperkuat implementasi Undang-Undang Kesehatan. Kesehatan jiwa bukan aib; mengabaikannya sama saja membiarkan bom waktu sosial yang siap meledak. “Sing eling lan waspada” (Selalu ingat dan waspada), karena masalah kesehatan mental bisa menimpa siapa saja.

Kesenjangan ekonomi, sebagai akar dari banyak masalah sosial, secara gamblang terwujud dalam fenomena anak jalanan dan gelandangan pengemis. Mereka adalah potret nyata dari ketidakadilan ini. Data dari Dinas Sosial Kota Bekasi menunjukkan angka anak jalanan dan anak putus sekolah yang masih memprihatinkan, terutama di wilayah padat penduduk. Kondisi ini bukan sekadar masalah individu, melainkan masalah sosial yang kompleks dan membutuhkan solusi komprehensif yang melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Penertiban terhadap “gepeng yang dikelola bos” juga krusial untuk memutus rantai eksploitasi dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Dalam konteks ini, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 secara tegas mengamanatkan bahwa negara bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Pemerintah Kota Bekasi dapat mengacu pada Peraturan Daerah Kota Bekasi terkait Ketertiban Umum untuk menertibkan gelandangan dan pengemis, serta memberikan pembinaan yang sesuai. Lebih jauh lagi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki kewenangan untuk menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), termasuk anak jalanan dan gelandangan pengemis. Perda ini dapat menjadi payung hukum bagi program pembinaan dan penertiban yang terkoordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Mereka bukanlah sampah masyarakat, melainkan manusia yang membutuhkan uluran tangan dan kesempatan. “Ulah adigung, ulah adiguna, ulah pupulih (Jangan sombong, jangan merasa paling berguna, jangan merasa paling benar),” kita harus merendahkan hati dan membantu sesama.

Terakhir, pendidikan adalah kunci fundamental untuk memutus rantai kemiskinan dan ketidakadilan. Namun, hak atas pendidikan yang layak, termasuk pendidikan agama, masih sering terabaikan. Data dari Kementerian Agama menunjukkan bahwa masih banyak sekolah, terutama di daerah dengan minoritas agama, yang mengalami kekurangan guru agama. Kondisi ini secara langsung melanggar hak siswa untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinan mereka. Pemerintah daerah perlu proaktif dalam merekrut dan melatih guru agama, serta memastikan bahwa kurikulum pendidikan agama bersifat inklusif dan menghormati keberagaman. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang sesuai dengan keyakinan agamanya. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melalui Dinas Pendidikan dan Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Barat, dapat menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Pemenuhan Kebutuhan Guru Agama di sekolah-sekolah di wilayahnya. Langkah ini esensial untuk memastikan setiap siswa di Jawa Barat mendapatkan hak pendidikan agama sesuai keyakinannya, diperkuat oleh fakta bahwa Kanwil Kemenag Jabar terlibat aktif dalam penyediaan guru agama untuk non-Muslim. Pendidikan agama adalah fondasi moral; tanpa itu, kita berisiko kehilangan generasi penerus yang berakhlak mulia. “Gemi nastiti ngati-ati” (Hemat, cermat, dan hati-hati), karena pendidikan adalah investasi jangka panjang yang membutuhkan perhatian serius.

Kota Bekasi kini berada di persimpangan jalan historis. Pembangunan fisik semata tidaklah cukup untuk menciptakan kemajuan sejati. Kita harus berani memilih untuk merajut keadilan sosial, memastikan setiap warga negara memiliki kesempatan yang setara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas, pendidikan yang layak, dan kehidupan yang bermartabat. Aspirasi masyarakat adalah kompas yang menuntun, sementara data dan fakta adalah peta jalan kita. Mari bergerak bersama, membangun Bekasi yang tidak hanya sejahtera secara materi, tetapi juga harmonis dan berkeadilan bagi seluruh warganya. Inilah saatnya mewujudkan Bekasi yang tidak hanya gemerlap secara fisik, tetapi juga adil dan berkeadilan bagi seluruh penghuninya.

“Pembangunan yang inklusif adalah pembangunan yang memperhatikan kebutuhan seluruh masyarakat, terutama mereka yang rentan dan terpinggirkan. Keadilan sosial harus menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan dan program pembangunan di Kota Bekasi.”
Narasumber Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)

Profil Singkat Narasumber:

Penulis adalah seorang Jurnalis Senior   dan aktivis sosial yang aktif memperjuangkan keadilan dan kesetaraan yang masa kecil nya bermukim Kota Bekasi. Beliau dikenal karena kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan. Beliau juga aktif dalam kegiatan dialog antaragama dan mempromosikan toleransi serta kerukunan di masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *