DPR, Watchdog akan Ketololan

Oleh,  Maman A Majid Binfas

Tanjung Pinang – detikperistiwa.co.id

Dalam literatur istilah “watchdog” yang mulai digunakan sekitar tahun 1600-an dalam tulisan-tulisan. Kemudian, dalam kamus Bahasa Inggris diksi “Watchdog” adalah kata benda yang dibentuk dari penggabungan “watch”/mengawasi dan “dog”/anjing.

Kemudian, dalam dunia politik. digunakan “watchdog” untuk mengacu pada peran pengawasan kritis yang diemban, baik oleh jurnalis, organisasi sipil maupun kelompok masyarakat untuk memantau dan mengkritik tindakan penguasa serta menginformasikan publik. Tidak lain, tujuannya untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Metafora diksi ini berasal dari peran anjing penjaga yang menjaga dan “menggonggong” ketika ada ancaman. Dalam konteks politik bisa digunakan untuk mengungkap korupsi, pelanggaran etika, atau kesalahan oleh pejabat publik dan lembaga.

Jadi, esensi dari diksi Watchdog atau anjing penjaga bisa merujuk pada dua hal berbeda: anjing penjaga adalah anjing yang bertugas mengawasi dan melindungi properti atau orang dari penyusup, sedangkan “watchdog” (secara kiasan) adalah lembaga atau individu yang mengawasi badan lain, seperti perusahaan atau pemerintah. Tentu, tugasnya adalah untuk memastikan tindakan mereka tidak melanggar hukum atau tidak etis demi kepentingan publik.

Keetisan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yakni melaksanakan amanah utama yang sesuai UUD RI 1945, di antaranya, sebagai pembentuk undang-undang, pelaksana pengawasan terhadap pemerintah, dan fungsi anggaran.

Namun, kini ketiga peran ini tidak berjalan optimal, muncul persepsi bahwa DPR tidak lagi efektif sebagai Watchdog di dalam mewakili rakyat tetapi hanya demi “dog watch” dirinya doang digonggonginya. Sebagaimana gonggongan ‘dog watch’ atas Ketolan Ahmad Sahroni, dengan kalimat ‘orang tolol sedunia’ kepada pendemo pembubaran DPR RI.

Kemudian, dibantahnya dengan melolong kebeletan dalam ketololannya, sebagaimana dimuat oleh Suaradotcom via facebook 27/8/2025. Saya akan mengutip apa adanya, kemudian terakhir akan disisipkan esensi dari Watchdog oleh Rocky Gerung Official.

Bantahan Tolol Ahmad Sahroni

Tanpa diuraikan tentang esensi dari kata “tolol” menunjukkan tingkat kebodohan yang tinggi, bahkan lebih dari sekadar “tidak pintar”.  Kata tolol atau ketololan bersifat pejoratif dan menunjukkan ketidakmampuan seseorang untuk bertindak secara rasional, yang dapat berujung pada tindakan yang merugikan. Termasuk, bila diucapkan secara langsung kepada pihak yang bersangkutan, maka akan berkesan sungguh sangat memalukan, baik ketika berhadapan atau kemudian bila disampaikan.

Kemudian, narasi bantahan Ahmad Sahroni atas kalimat melolongnya dengan kebeletan dalam ketololannya, sebagaimana dimuat oleh Suaradotcom via facebook 27/8/2025. Saya akan mengutip apa adanya, kemudian terakhir akan disisipkan reaksi dari esensi diksi Watchdog oleh Rocky Gerung Official. Adapun, narasi lolongan bantahan dimaksud, sbb.

“Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, telah mengeluarkan klarifikasi tegas terkait pernyataannya yang sempat menjadi kontroversi. Ia membantah telah menyebut seluruh masyarakat Indonesia “mental tolol sedunia”. Menurut Sahroni, pernyataan tersebut disalahpahami dan dipelintir; sebenarnya, yang ia maksud adalah oknum-oknum tertentu yang menyerukan pembubaran DPR, bukan masyarakat luas yang menyampaikan kritik.

Dalam penjelasannya, Sahroni mengungkapkan rasa frustrasinya karena ucapannya “digoreng” seolah membidik seluruh rakyat. Ia memperjelas bahwa kata-kata pedas itu ditujukan khusus kepada mereka yang mendesak pembubaran lembaga legislatif sebuah gagasan yang menurutnya adalah kekeliruan fatal karena menyamakan diri dengan bagian dari negara yang tidak bisa ditarik begitu saja.

Ia menegaskan bahwa tidak pernah ada niatan untuk melabeli masyarakat secara umum sebagai tolol. Kini, dengan penuh tegas, Sahroni membantah tuduhan-tuduhan itu dan menyatakan bahwa pernyataannya hanya bermaksud menyoroti tindakan ekstrem dari segelintir orang saja.

Bantahan atas Ketololan Ahmad Sahroni ini bukan lagi bah ‘Watch Dog’ atau anjing penjaga dalam filsafat politik. Bahkan yang “… terjadi sebaliknya si anjing penggonggong ini menggonggongi rakyat dengan menganggap rakyat itu tolol, rakyat itu kurang cerdas, rakyat itu tidak terdidik, itu artinya dia menggonggongi tuannya kan konyol”  (YouTube di kanal Rocky Gerung Official, Rabu 27/8/2025.

Bias kekonyolan atas ketololan dari gaung melolong Ahmad Sahroni sehingga publik pun wajar bumerang untuk menghajar balik dengan beragam diksi dasar sialan “Watchdog” hanya menggonggong demi tulang doang.  Mungkin akan lebih baik, bila telah jadi anggota yudikatif dan atau legislatif hendaknya memilih diksi yang tidak berdampak kesialan kepada diri dan keluarganya.

Kesialan Jadi Manusia Tulen

Sungguh elok dan menawan bila menyadari diri akan sirkulasi isi otak sebagai manusia biasa memang agak lamban sehingga terjadi kelembaban. Apatah lagi, memang disadari bagaikan sirkulasi ampas ceboan, dan jangan pula ditambalin dengan memutarin sehingga menjadi bokongan berkubang jambanan.

Maka, semakin benderanglah tampak akan ketulenan di dalam merawat kedunguan menjadi king kalikongan. Sungguh alangkah sialnya menjadi manusia yang telah dianugerahi Tuhan dengan kemuliaan. Tetapi, justru memilih jalan aspalan berlebihan berhingga melampui kadar ke_asfala safilin-an yang penuh kehinaan dengan nyata jadi pilihan.

Dan sungguh telah nyata di dalam QS. At-Tin ayat 5 titahkan yang berarti; “Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”.

Tidak terbantahkan tentang esensi dari ayat tersebut, memang  menjelaskan mengenai kadar manusia yang bisa jatuh ke derajat paling rendah, apabila ia menyimpang dari fitrahnya dan tidak beriman serta beramal saleh secara tulen.

Manakala, tidak tulen meyakini pesan ayat dimaksudkan, tentu akibatnya juga akan berdampak timpang menjadi buah ketololan yang dituai, baik di dunia maupun berakhiratan.

DPR dan Istana Tampak Timpang

Dunia tetap berputar dengan apa adanya dan bersirkulasi takdir jadi pengabdiannya kepada Sang Abadi

Kalau penghuni merasa bimbang seakan bumi tak berkeadilan, itu hanya ilusian pikiran tanpa logis berikhtiar untuk menggapai harapan

Mungkin tidak terlalu senasip dengan yang kirab di dalam detik detik mulia untuk berdemo damai guna menuntut keadilan utama diperankan, namun diguyur semprotan kepedihan air mata berlinang.

Sementara di sisi lain, ada menitihkan air mata dengan rasa haru bercampur bahagia karena dianugerahi bintang mahaputera utama di Istana berbinang.

Mungkin, boleh saja kita berbeda untuk menilainya dan itu hal yang wajar, di dalam detik demo hanya untuk menitihkan air mata yang begitu tampak timpang !

Jadi, alangkah eloknya DPR agar tetap mempertajam peran sebagai Watchdog dan menghindari logika gaya diksi ketololan, sehingga dihormati tanpa berkesan kadar kesialan benaran._Wallahualam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://detikperistiwa.co.id/wp-content/uploads/2024/03/IMG-20240311-WA0045.jpg