Aceh Tengah – detikperistiwa.co.id
Setelah sempat menjadi sorotan karena siswa-siswinya terpaksa belajar di lantai tanpa meja dan kursi, SMP Negeri 32 Takengon, Desa Kekuyang, kembali memantik polemik. Kini, giliran mantan kepala sekolahnya yang ikut buka suara—namun justru menambah daftar pertanyaan.
Dikonfirmasi langsung oleh detikperistiwa.co.id, kepala sekolah lama yang baru saja digantikan pada 11 Juli 2025, menanggapi dingin persoalan yang terjadi di sekolah yang pernah ia pimpin. Ia berdalih, kondisi siswa duduk di lantai hanya terjadi setelah masa jabatannya berakhir.
“Itu siswa baru, kursinya memang sedang kita usulkan. Tapi semasa saya, tidak ada yang duduk di lantai,” ujarnya singkat melalui pesan WhatsApp, lalu tak lagi merespon saat ditanya lebih lanjut soal kondisi serupa yang diduga sudah terjadi sejak semester lalu.
Pernyataan tersebut kontras dengan keterangan dari guru di sekolah tersebut, yang menyebut bahwa kursi dan meja sudah lama rusak, dan para siswa—termasuk yang lama—terpaksa duduk di lantai karena keterbatasan fasilitas.
“Semester lalu bisa diatasi karena siswa tidak penuh. Tahun ini siswa baru lebih dari 40 orang, sementara kursi dan meja banyak yang rusak. Sudah kami sampaikan ke kepala sekolah lama, tapi jawabannya sedang diusulkan,” ujar sang guru.
Ketidaksesuaian keterangan antara guru dan kepala sekolah lama ini memunculkan tanda tanya besar: benarkah tidak ada pembiaran? Apakah memang sudah ada pengusulan, atau hanya sekadar janji yang tak pernah ditindaklanjuti?
Yang jelas, fakta di lapangan menunjukkan siswa masih belajar di lantai, beralaskan karung goni, tanpa meja, tanpa kursi. Pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pendidikan Aceh Tengah, belum memberikan keterangan resmi hingga berita ini diterbitkan.
Sejumlah warga menyebut kondisi ini sebagai bentuk kelalaian struktural yang harus segera dibenahi. “Ini bukan sekadar soal meja dan kursi, ini soal tanggung jawab,” ujar salah satu warga Desa Kekuyang.
Kini, semua mata tertuju pada kepala sekolah baru dan pihak dinas. Mampukah mereka menyelesaikan persoalan warisan ini, atau justru membiarkannya menjadi noda panjang dalam dunia pendidikan Aceh Tengah?(#)