Arif pramudy0
Menjaga Damai di Tengah Beda: Upaya Dini Cegah Konflik Keagamaan di Semarang
Semarang, detikperistiwa.co.id – Di tengah makin kompleksnya tantangan keberagaman, langkah-langkah kecil menuju perdamaian menjadi sangat berarti. Itulah yang terasa di Aula Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Semarang, Selasa (16/7), ketika berbagai unsur masyarakat duduk bersama untuk satu tujuan: mencegah konflik keagamaan sejak dini.
Dengan tema “Cegah Dini Konflik Paham Keagamaan Islam Tingkat Kota Semarang”, kegiatan itu menjadi ruang pertemuan antara pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat,
penyuluh keagamaan, dan aparat keamanan. Semuanya berkumpul bukan untuk mengeluh, tetapi untuk mencari jalan bersama: menjaga Semarang—dan Indonesia—tetap aman dan damai.
“Situasi aman dan kondusif dalam kehidupan beragama tidak akan terwujud tanpa pemahaman dakwah yang kontekstual dan dialogis,” ujar Muhtasit, S.Ag., M.Pd, Kepala Kemenag Kota Semarang. Menurutnya, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci dalam menciptakan ruang keagamaan yang sehat dan inklusif.
Antisipasi, Bukan Reaksi
Paparan dari nara sumber utama, Agung dari Badan Intelijen Negara (BIN), menggaris bawahi pentingnya pendekatan deteksi dini dalam menghadapi potensi konflik bernuansa agama maupun SARA. Menurutnya, konflik tidak serta-merta meledak—ia tumbuh dari kelalaian kolektif membaca tanda-tanda kecil: ujaran intoleran, diskriminasi diam-diam, atau kesenjangan tafsir di tingkat akar rumput.
“Inilah saatnya kita mencegah, bukan menunggu retak,” tegas Agung.
Diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) yang digelar kemudian menjadi ajang refleksi sekaligus komitmen. Peserta yang datang dari latar belakang berbeda menyepakati sebuah pernyataan sikap bersama—bukan sekadar wacana, melainkan pijakan konkret untuk bertindak.
Lima Komitmen untuk Indonesia Damai
Dari FGD itu, lima komitmen besar lahir:
1. Menjamin hak beribadah setiap warga negara dan memperkuat deteksi serta penanganan potensi konflik secara inklusif dan berkeadilan.
2. Mendukung langkah strategis Kementerian Agama dalam memahami akar masalah lokal serta membangun rekonsiliasi secara konstruktif.
3. Menanamkan nilai cinta damai, kesetaraan, dan penghormatan terhadap HAM dalam setiap kebijakan sosial-keagamaan.
4. Mendorong penguatan moderasi beragama untuk melawan intoleransi, ekstremisme, dan kekerasan berbasis identitas.
5. Berkomitmen membangun kolaborasi lintas iman dan sektor, memperkuat sinergi antara pemerintah, tokoh agama, masyarakat sipil, dan warga negara.
Kelima butir itu dibacakan bersama. Tidak dalam suasana seremonial kaku, melainkan dengan keyakinan moral bahwa persatuan bukanlah slogan kosong—ia harus diperjuangkan, dirawat, dan dijaga bersama.
Lebih dari Sekadar Pernyataan
Meski baru langkah awal, banyak yang berharap kegiatan ini menjadi model untuk kota-kota lain di Indonesia. Sebab menjaga kerukunan bukan pekerjaan satu hari, bukan pula tugas satu lembaga. Ia adalah proses panjang yang membutuhkan ketelatenan, empati, dan keberanian mendengarkan yang berbeda.
“Harapannya, ini tidak berhenti di sini. Harus ada tindak lanjut yang menyentuh lapisan masyarakat paling bawah, termasuk generasi muda,” ucap seorang peserta dari organisasi kepemudaan Islam.
Sebagaimana Indonesia dibangun oleh keberagaman, maka Indonesia juga hanya bisa bertahan oleh komitmen bersama menjaga damai di tengah segala perbedaan.
-pram-