MEREDUPNYA KEHARMONISAN SOSIAL DALAM MEMILIH CALEG 2024

 

Oleh : AlMisry Al Isaqi

Takengon-detikperistiwa.co.id

Ibarat gerembolan ikan bontok yang berpisah ketika dilempari batu, begitulah istilah barangkali bisa mewakili situasi masyarakat pada saat momentum politik hari ini.Pemilihan legislatif di laksanakan lima tahun sekali,tidak beda jauh dengan “Rencana pembangunan lima tahun.” Menjelang penyoblosan, masyarakat menyambut baik atas hak memilih atau memberi suara kepada bakal calon yang bertanggung jawab terhadap segala aspek kebutuhan masyarakatnya.
Meskipun begitu,ternyata politik yang kita harapkan tidak seperti biasanya. Sebagaimana orang memahami politik ini menciptakan ruang demokrasi dan menyatukan hubungan solidaritas dari sebuah masyarakat. Namun, yang terjadi hanyalah mengklim paling benar saling ribut,berkaca pada momentum politik di tahun-tahun sebelumnya, kondisi masyarakat cukup amburadul. Pasalnya Caleg datang menyapa dan keributan masyarakat pun tidak dapat dihindari.
Konflik pada saat momentum politik ini, mengingatkan kita pada seorang filsuf politik.Nicocola Machiavelli mengatakan politik tidak ada hubunganya dengan moral sehingga butuh rekayasa sosial. Hal ini bukan tanpa sebab, pasalnya taktik politikus sering kali mengorbankan masyarakat kelas bawah. Bahasa kekuasaan memang sangat puitis,tapi dalam penerapanyan sangat menyeramkan.Narasinya sangat indah,tapi sangat menghawatirkan. Memang,bahasa Caleg yang disampaikan sebagian besar ungkapan yang harus diadili dan dipertanyakan. Bahasa politisi (Caleg) dirancang untuk memanipulasi dan membuat dusta yang kedengarannya benar,dan program kerja omong kosong seakan meyakinkan.
Filsuf Ariestoteles merumuskan zona politik memiliki pengertian bahwa manusia merupakan makhluk sosial, makhluk yang saling berhubungan dan terikat dengan manusia yang lainnya. Faktanya, esensi ini menghilang dalam momentum politik hari ini,hal ini mengganggu nilai budaya dan keharmonisan sosial semakin meredup. ujaran kebencian dan saling menghina.Sentimen dikonversi dalam media sosial, hingga masalah menjadi semakin membesar sehingga satu darah pun saling mengaku musuh, dan saling memutuskan tali silaturahmi antar sesama. hal ini terjadi karna politik. Artinya apa, Pileg diidentik sebagai pesta demokrasi rakyat, pemilu itu sering memicu konflik karena perbedaan pendapat.
Hal yang sama sebagai cerminan dalam ajaran Islam, Rasululah bersabda: ‘’ tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali persaudaraan’’. (HR. Bukhari muslim).
Dapat dipahami bahwa mengajarkan masyarakat terkait cara berpolitik dalam pemilihan itu sebetulnya memerlukan kode etis.Caleg-caleg wajib mebiarkan masyarakat dengan sendirinya membuat keputusan.Bukan menyalah gunakan segala cara untuk menarik rasa peduli dengan politik transaksional.
Reflektif pileg 2019 kemarin, perlu dijadikan kaca mata hari ini untuk tahun 2024 ini,menuju politik damai.Perbedaan pendapat politik merupakan hal yang lazim. Artinya, setiap orang punya pilihan untuk menentukan calon legislatifnya sendiri.  Faktanya banyak fenomena miris, setelah paska pileg, hal ini perlu dipertanyakan eksistensinya, kenapa permusuhan menjadi gelombang di tengah masyarakat   yang menghilangkan keharmonisan sosial?
Masyarakat membutuhkan tindakan nyata dalam janji politik. Pasalnya,terlalu sering masyarakat dijadikan korban saat masa kampanye. Jangan heran, masarakat sudah kehilangan makna politisasi. Stigma kian mempengaruhi pikiran mereka kepada tukang pemberi janji palsu. Kebohongan sering dilekatkan pada pejabat publik, hal ini berdampak pada pikiran masyarakat yang skeptis terhadap momentum Pileg
Politik Uang (Politik Transaksional)
Bagaimana para politisi meyakinkan pemilih agar memenangkan pemilu? Praktik politik uang adalah gaya politisi berinvestasi dalam pemilu. Artinya, politisi Ketika mendapatkan kursi kekuasaan. Pikiraan mereka untuk mengakumulasi modal inilah yang akan berpotensi bagi pejabat publik tidak lagi melihat aspirasi masyarakat dan kemungkinan besar merasa pandai memperdaya ruang berpikir masyarakat.
Calon legislatif dipilih oleh rakyat dalam pesta demokrasi pemilu, dalam menentukan pemimpin yang mewakili rakyat (Aspirasi), rakyat harus pandai-pandai. Umumnya, jiwa kepemimpinan adalah sifat manusia yang mempengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan Bersama.
Meskipun begitu, pejabat publik (Caleg) harus dipertanyakan eksistensi jiwa kepimimpinannya,makna jiwa kepimpinan kedengaran sangat mulia tapi dalam prakteknya sering kali ada otak mafia. Pasalnya, pemimpin nantinya mempengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan bersama, kolektif. Dalam praktiknya sering kali pejabat telah mobilisasi kebjikan sehingga tujuan yang seharusnya diraih secara bersama diubah menjadi suatu hal yang diperoleh secara kelompok maupun secara induvidu. Kekuasaan adalah instrumen, ibarat kata,kekuasaan memiliki warnah putih tapi politisasinya menerapkan perubahan kekuasan menjadi warna hitam.
Merujuk pada setiap momentum politik lokal,politik uang  akan selalu menjadi celah bagi yang takut gagal (kalah) saat pileg.Tidak heran, keadaan demokrasi kita sering memunculkan konflik, baik secara horizontal maupun fertikal.  Hal ini berpotensi konflik antara keluarga dan masyarakat umumnya. Ini dapat hentikan oleh masyarakat, melalui apatisme pada politisi yang mencoba mempraktikan politik uang. Masyarakat perlu di sadarkan melalui sosialisasi tentang bahayanya politik uang, sosialisasi tidak akan berguna apabila tidak ada kekonsistenan dari masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://detikperistiwa.co.id/wp-content/uploads/2024/03/IMG-20240311-WA0045.jpg