
*Meningkatnya Tingkat Emosional Seperti Amarah, Kebencian dan Egoisme Manusia Akhir – Akhir Ini, Sebagai Tanda-Tanda Datangnya Masa Kemerosotan Moral atau Bahkan Akhir Zaman*
Di tengah hiruk-pikuk peradaban modern, kemajuan teknologi yang seharusnya membawa manusia pada kemudahan dan kesejahteraan justru sering beriringan dengan munculnya kegelisahan batin dan ketegangan sosial. Fenomena meningkatnya emosi manusia—terutama amarah, kebencian, dan egoisme—kini menjadi sorotan di berbagai kalangan. Dari ruang digital hingga lingkungan sosial, kita menyaksikan semakin banyak individu yang mudah tersulut, kehilangan empati, dan mengedepankan ego.
Tulisan berikut mengulas gejala ini dari berbagai perspektif — agama, budaya, hingga ilmu sosial modern — sebagaimana diuraikan oleh Ki Ageng Joklap, dalam renungan bertajuk yang sama.
*1. Perspektif Agama Islam*
Dalam pandangan Islam, fenomena ini bukanlah hal yang asing. Rasulullah SAW telah menubuatkan bahwa menjelang akhir zaman akan banyak terjadi fitnah, pertikaian, dan ketidakstabilan moral. Masyarakat akan dipenuhi dengan orang-orang yang mudah marah, kehilangan kesabaran, dan dipimpin oleh individu yang rendah akhlaknya. Dalam situasi seperti ini, ego manusia menjadi semakin besar sementara sifat tawadhu’ (rendah hati) dan kesediaan untuk introspeksi diri kian memudar.
Peningkatan amarah, kebencian dan egoisme sering dikaitkan dengan hilangnya keberkahan dan lenyapnya orang-orang saleh yang dulu menjadi penyejuk masyarakat. Akibatnya, yang tersisa adalah generasi yang haus akan pengakuan dan kekuasaan, mudah tersulut emosi, serta enggan menerima nasihat. Dalam konteks spiritual, ini menandakan tergerusnya nilai-nilai iman dan kebijaksanaan yang seharusnya menuntun manusia untuk bersikap tenang dan penuh kasih.
*2. Perspektif Agama Kristen*
Dalam ajaran Kristen, Alkitab juga telah memberikan gambaran serupa. Dalam Injil Matius 24:12 tertulis bahwa “karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.” Kalimat ini mencerminkan kondisi masyarakat modern yang semakin kehilangan empati dan kasih sayang, digantikan oleh sikap mementingkan diri sendiri dan keangkuhan.
Selain itu, berbagai ayat juga menubuatkan tentang masa-masa penuh konflik dan penyesatan yang dipicu oleh keserakahan dan amarah manusia. Surat Efesus mengingatkan umat agar tidak membiarkan amarah menguasai diri, karena hal tersebut dapat menjadi pintu masuk bagi kejahatan. Dalam pandangan ini, meningkatnya egoisme dan emosi negatif bukan sekadar masalah psikologis, tetapi juga peringatan spiritual agar manusia kembali menyeimbangkan batin dan keimanan.
*3. Ramalan Jayabaya dan Kearifan Nusantara*
Dalam warisan budaya Jawa, Ramalan Jayabaya juga menyinggung masa di mana manusia akan “berhati iblis,” menggambarkan kondisi moral yang memburuk. Manusia akan saling berkhianat, mementingkan diri sendiri, dan melupakan nilai-nilai luhur. Meski sebagian tafsir ramalan Jayabaya mengarah pada datangnya masa keemasan setelah kehancuran moral, periode menuju fase tersebut justru ditandai oleh meningkatnya keegoisan, amarah, dan hilangnya kearifan sosial.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara sejak dahulu telah menyadari adanya siklus kemerosotan moral yang akan datang seiring perubahan zaman.
*4. Analisis Psikologi dan Sosial Modern*
Dari sudut pandang psikologi dan sosiologi, fenomena meningkatnya emosi, kebencian dan egoisme manusia dapat dijelaskan melalui berbagai faktor:
– Stres dan tekanan hidup: Tekanan ekonomi, sosial, dan pekerjaan menimbulkan stres kronis yang membuat individu lebih mudah marah dan kehilangan empati.
– Pengaruh media sosial: Kehidupan digital yang menuntut validasi dan pengakuan publik memperkuat perilaku narsistik dan kompetitif, sehingga ego manusia tumbuh tak terkendali.
– Fenomena blaming culture: Banyak orang lebih memilih menyalahkan orang lain daripada introspeksi, menciptakan siklus emosional negatif dalam hubungan sosial.
– Menurunnya empati dan kearifan emosional: Meskipun manusia modern memiliki pengetahuan luas, kedewasaan emosionalnya justru menurun. Pengetahuan intelektual tidak diimbangi dengan kebijaksanaan hati.
Dalam kondisi ini, masyarakat seolah kehilangan keseimbangan antara kemajuan pikiran dan kematangan jiwa.
*5. Akar Penyebab yang Lebih Dalam*
Fenomena meningkatnya amarah, kebencian dan egoisme tidak muncul begitu saja. Ada berbagai faktor mendasar yang saling berkelindan:
– Hilangnya nilai spiritualitas dan moralitas, membuat manusia lebih berorientasi pada materi dan kepuasan pribadi.
– Sistem sosial yang kompetitif, menanamkan nilai bahwa keberhasilan harus diraih meski harus mengorbankan orang lain.
– Perkembangan teknologi, yang memperluas koneksi secara virtual, tetapi menipiskan kedekatan emosional antarmanusia.
– Ketidakstabilan global, baik dalam bentuk konflik, bencana, maupun krisis, menciptakan ketakutan dan memperkuat naluri egois manusia untuk bertahan.
– Fenomena meningkatnya amarah, kebencian dan egoisme manusia merupakan cerminan kemerosotan moral dan ketidakseimbangan spiritual yang melanda masyarakat modern.
Dalam pandangan agama, hal ini bisa dianggap sebagai peringatan ilahi akan datangnya masa penuh ujian. Sementara dari sisi ilmiah, ini adalah konsekuensi logis dari tekanan sosial, teknologi, dan ketidakharmonisan emosional manusia itu sendiri.
Tulisan ini mengajak kita untuk merenung lebih dalam: di balik kemajuan zaman yang kita banggakan, ada potensi keruntuhan nilai yang pelan tapi pasti menggerogoti nurani. Maka, menghadapi era yang penuh gejolak ini, manusia dituntut untuk kembali pada nilai-nilai luhur—menumbuhkan empati, kesabaran, dan kearifan dalam berinteraksi.
Sebab, hanya dengan keseimbangan antara intelektualitas dan spiritualitas, peradaban manusia dapat kembali menemukan kedamaian sejatinya. Sebuah pesan yang tak lekang oleh waktu, disampaikan melalui kebijaksanaan lintas agama, budaya, dan ilmu pengetahuan.
(By : Mujihartono Kaperwil Jateng)
Tulisan ini sangat kuat dan reflektif — menggabungkan pendekatan lintas perspektif (agama, budaya, dan ilmu sosial modern) dengan alur naratif yang tenang namun menggugah kesadaran moral. Berikut analisis dan beberapa saran perbaikan kecil agar naskah ini lebih solid dan siap diterbitkan atau disajikan dalam forum akademik maupun renungan publik:
💡 Kelebihan Utama
- Struktur yang sistematis:
Pembagian berdasarkan perspektif agama, budaya, dan ilmiah membuat pembaca mudah mengikuti alur logika dan memahami keterkaitan antara aspek spiritual dan sosial. - Gaya bahasa reflektif dan bernuansa:
Diksi seperti “tergerusnya nilai-nilai iman dan kebijaksanaan” atau “pengetahuan intelektual tidak diimbangi dengan kebijaksanaan hati” sangat efektif dalam menggugah emosi pembaca. - Keseimbangan antara data spiritual dan sosial:
Penggunaan ayat, sabda Rasulullah, serta kutipan Ramalan Jayabaya memberikan kedalaman budaya dan religius yang khas Nusantara, sementara bagian psikologi dan sosiologi memberi bobot ilmiah.
✍️ Saran Revisi Kecil (untuk penyempurnaan)
- Konsistensi istilah:
Kadang digunakan istilah “emosi manusia” dan di bagian lain “emosi negatif”. Disarankan untuk memilih satu istilah utama—misalnya “emosi negatif (amarah, kebencian, egoisme)”—dan memakainya secara konsisten agar kesan akademik lebih kuat. - Perkuat transisi antarbagian:
Misalnya, sebelum masuk ke perspektif Kristen, bisa ditambahkan kalimat penghubung seperti:“Fenomena serupa juga mendapat perhatian dalam ajaran Kristen yang menyoroti pendinginan kasih dan meningkatnya kedurhakaan.”
- Tambahkan penutup yang lebih tegas:
Akhiri dengan pesan universal yang lebih mengajak, misalnya:“Pada akhirnya, masa depan kemanusiaan tidak ditentukan oleh teknologi atau kekuasaan, melainkan oleh kemampuan kita menjaga kemurnian hati di tengah derasnya perubahan zaman.”
- Sedikit koreksi redaksional:
- “…renungan bertajuk yang sama.” → lebih efektif menjadi “…renungan dengan judul yang sama.”
- “Peningkatan amarah, kebencian dan egoisme…” → tambahkan koma setelah “kebencian,” agar ritme kalimat lebih jelas.
🌿 Alternatif Judul (bila ingin versi publikasi)
- “Amarah di Era Digital: Tanda Kemerosotan Moral dan Peringatan Spiritual”
- “Ketika Ego Menguasai Zaman: Refleksi Lintas Agama dan Budaya atas Krisis Emosi Manusia Modern”
- “Zaman yang Mudah Marah: Antara Ramalan, Iman, dan Sains”
Jika kamu ingin, aku bisa bantu menyunting tulisan ini menjadi versi esai populer (misalnya untuk media seperti Kompasiana, Medium, atau buletin rohani*), atau menjadikannya artikel ilmiah populer dengan gaya akademik ringan dan referensi tambahan (misalnya dari psikologi kontemporer seperti Goleman atau Fromm).
Publikasi: Https//detikperistiwa.co.id





