Buleleng | detikperistiwa.co.id
Polemik pembangunan Kantor Kepala Desa Pelapuan Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng semakin meluas dan semakin berkepanjangan. Pasalnya 2 (dua) tahun setelah dikerjakannya pondasi dan tiang beton yang berjumlah sekitar 20 tiang itu, (BKK tahun 2022 namun pengerjaan proyek pondasi dan tiang beton tersebut dikerjakan di tahun 2023-red) hingga kini belum mendapat kejelasan kapan akan dimulai pengerjaan lanjutan, dan berapa dana yang dibutuhkan serta darimana sumber dananya.
Desas-desus penolakan yang sebelumnya dikira hanya sebatas isu, akhirnya menjadi kenyataan.
Terbukti sekelompok Krama Desa Adat Pelapuan, yang mengatasnamakan perwakilan dari Krama Desa Adat Pelapuan yang menolak pembangunan Kantor Kepala Desa Pelapuan diatas lahan tanah milik Desa Adat Pelapuan, tanpa diundang mendatangi acara Musyawarah Desa (Musdes) yang digelar pada hari Jumat (5/7/2024).
Didalam acara sesi tanya jawab di acara Musdes tersebut, Made Darmawan seorang tokoh masyarakat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai ketua pecalang menyampaikan kekecewaan karena pembongkaran kantor Kepala Desa dan yang juga terdapat Sekretariat Bendesa Adat serta perencanaan Pembangunan kembali Kantor tersebut tidak diputuskan melalui Paruman Adat.
Pada kesempatan tersebut, Made Darmawan mempertanyakan sikap dari Perangkat Desa, baik itu dari unsur BPD, Kepala Desa maupun Bendesa Adat yang berani membuat memutuskan tanpa persetujuan kerama adat secara utuh melalui Paruman Adat.
“Kenapa kami tidak dikasi tahu, ujug-ujug sudah terjadi pembongkaran, sudah terjadi pembangunan. Kami juga tidak tahu darimana asal dananya, berapa jumlahnya, kami selaku warga Adat berhak untuk tahu,” ujarnya.
Sependapat dengan Darmawan, krama adat lainnya, Dewa Made Suda Arsana mengatakan bahwa hal yang mendasar pembangunan Kantor Desa tersebut dibangun di atas lahan tanah Desa Adat, sementara dari sebagian besar warga merasa keberatan atas pembangunan Kantor Desa tersebut karena tidak adanya minta ijin dari Krama Adat melalui Paruman Adat.
“Paling tidak ada diskusi antara pihak Desa dengan Krama Desa Adat. Oleh karena itu masyarakat merasa keberatan dikarenakan tanpa melibatkan masyarakat jadi hanya sepihak seolah-olah masyarakat di kesampingkan,” tandanya Pria yang akrab disapa Dewa Unyil ini.
Dirinya juga dengan tegas mengatakan Hak atas tanah itu adalah milik Desa Adat Pelapuan, bukan milik Bendesa, kepala Desa ataupun BPD.
“Yang lebih mengejutkan lagi, sebagaimana yang dikatakan tadi oleh ketua BPD, sumber dana untuk pembangunan kantor Desa itu berasal dari kesepakatan politik tahun 2022 dengan mantan Bupati Buleleng pak Agus Suradnyana. Bila menang, pembangunan Kantor Desa Pelapuan tersebut dijanjikan akan di bantu dengan anggaran Rp 450.000.000 (empat ratus lima puluh juta),” ungkapnya.
“Namun baru terealisasi melalui Dana BKK Kabupaten Buleleng tahun 2022 sebesar Rp 250.000.000, dan dana itulah dipakai untuk membikin pondasi beserta tiang-tiangnya yang hingga saat ini masih mangkrak entah kapan selesainya secara keseluruhan,” tambah Unyil.
Dimintai tanggapannya terkait apa yang disampaikan oleh Kelian Adat dan Ketua BPD yang menyatakan tidak perlu ijin dari Krama Desa Adat, Dewa Unyil berpendapat kalau itu adalah pernyataan yang sangat Bodoh.
“Menurut pendapat saya itu sebenarnya pernyataan yang sangat bodoh. Itu tanahnya kan bukan milik Bendesa Adat atau Perbekel atau BPD. Itu adalah tanah milik Desa Adat Pelapuan,” pungkas Unyil.
Selain menolak, Unyil juga menyindir pembangunan pondasi kantor Kepala Desa Pelapuan itu.
“Logikanya kalau seseorang bila akan membangun seharusnya setelah pegang uang, bukan merobohkan dulu baru membangun. Sedangkan ini kan aneh,” celotehnya.
Ia pun meminta dari pihak Desa agar menghentikan pembangunan Kantor Kepala Desa tersebut sebelum ada keputusan melalui Paruman Adat.
Ternyata kekecewaan warga itu bukan hanya merasa dikesampingkan, tapi karena bangunan yang dirobohkan itu ada Sekretariat Bendesa Adat dan di sana tersirat sejarah bagaimana para leluhurnya membangun bangunan itu dengan bergotong royong dan penuh perjuangan.
“Dulu tetua-tetua kami membangun dengan urunan, bergotong royong, kok seenaknya itu bangunan bersejarah penuh dengan perjuangan dirobohkan begitu saja tanpa melihat ke belakang,” ulas Dewa Unyil dengan nada sedih.
Dilain pihak, saat dikonfirmasi awak media ini terkait status kepemilikan dan keputusan tanpa melibatkan krama Desa Adat secara utuh, Jro Gede Rena, Bendesa Adat Pelapuan pun meng-Amini kalau lahan tanah yang akan dibangun kantor Kepala Desa itu adalah milik Desa Adat.
“Kenapa tidak perlu persetujuan dari Krama Desa Adat, Karena kami kan sudah merupakan referensi dari Desa Adat,” tegas Kelian Adat Jro Gede Rena dengan penuh percaya diri.
Setali tiga uang, ketua BPD Pelapuan Gede Siadnya menyatakan bahwa pembangunan kantor Desa Pelapuan itu sudah ada kesepakatan dengan Kelian Adat.
Terkait mangkraknya pembangunan kantor Desa Itu, Siadnyana mengatakan bukan karena adanya polemik namun karena permasalahan anggaran.
“Karena anggaran pak, mungkin karena PJ baru seorang birokrasi betul-betul diteliti, mungkin di cancel,” ungkap Ketua BPD Siadnyana.
Setelah berita ini di terbitkan pihak awak media akan terus mencari para pihak terkait guna mendapatkan konfirmasi lanjutan.
Sby
Berita Terkait
Sejarah Mistis Batu Buyong Dan Wisata Belitung Timur. Diantara bebarapa objek wisata yang ada di pulau Belitung,salah satu yang sering di kunjungi wisatawan local adalah Batu Buyong di Batu Aer Tanjung Kelumpang . Obyek Wisata ini berada di daerah paling ujung di Selatan Pulau Belitung,terletak sekitar 110 km dari kota Tanjung Pandan, Batu Buyong bisa di capai menggunakan kendaraan roda dua maupun empat. Kelebihan obyek Wisata ini adalah sebuah batu seukuran lapangan bulu tangkis yang terlihat agak unik. Layaknya sebuah batu yang memang di letak kan di atas sebuah batu datar lain nya. Senin (4 Agustus 2025) Tono biasa disapa dengan panggilan Pitoy ini, anak dari Saidi Kahar, Cucu dari kek Kahar (Dukun terdahulu) Tono Pitoy penerus kuncen (Dukun) Batu Buyong yang juga melibatkan dukun Kampong bang alm Zani. Tono Pitoy menyebutkan, sebagai tempat wisata, kawasan obyek wisata Batu Buyong ini juga di kenali masyarakat sebagai tepat yang memiliki nuansa Magis cukup kuat. Hingga kerapkali orang-orang mendatangi Batu Buyung untuk bernazar, jelas Pitoy. Tak terlepas dari cerita di balik keberadaan dan asal usul Batu Buyong itu sendiri. Yang konon hanya sebuah batu kecil seukuran kepala bayi ( buyong.red ) yang berasal dari Kerajaan Majapahit, jelas Pitoy. Di kisahkan,dalam satu misi perluasan wilayah, satu armada kecil dari Kerajaan Majapahit melihat sebuah ” gosong ” yang aneh. Tampak seperti gosong,tapi pemandangan dari laut sangatlah indah. Terpesona dengan keindahan gosong tersebut, serempak semua awak perahu menghentikan pekerjaan. Mereka memilih menikmati keindahan tersebut daripada melakukan pekerjaan. Namun demikian,kendati memiliki kesempatan, mereka tak berani langsung mendarat ke gosong tersebut. Takjub dengan keindahan gosong tersebut, para awak perahu Kerajaan Majapahit seperti merasakan hanya mendatangi sebuah pulau tak berpenghuni saja. Tapi bedasarkan pengalaman di pulau-pulau lain, mereka merasa yakin bahwa gosong yang indah ini pasti ada penghuni nya. Dengan keyakinan tersebutlah kemudian mereka menyempatkan diri singgah sebentar untuk sekedar beristirahat sambil menikmati indahnya gosong. Sesampai di tanah Jawa, pimpinan Armada Kecil itupun segera melapor kepada Raja. Menceritakan pulau temuan yang anggap ganjil dan penuh misteri ini. Mendapat laporan demikian Raja merasa perlu untuk segera menanggapinya. Pertemuan singkat pun di gelar untuk memutuskan apakah pulau tersebut akan di beri tanda sebagai milik Majapahit. Di akhir pertemuan Raja menginstruksikan Hulubalang membuat sebuah tanda berupa subuah batu yang di buat dari batu dapur ( Tanah liat yang di bulatkan, biasanya di gunakan untuk membuat dapur api di rumah-rumah di kampong, sebesar kepala buyong-bayi.(red ). Mendapat instruksi demikian, Hulubalang pun segera menyiapkan sebuah batu dapur lengkap dengan tali rantai yang panjang sebagai pengikat pulau tersebut dari Pulau Jawa. Setelah semua perlengkapan siap rombongan kedua pun berangkat menuju pulau misterius tadi. Berbeda dengan misi sebelumnya,kali ini anggota rombongan jauh lebih banyak. Singkat cerita setelah rombongan tadi sampai di pulau misterius, mereka segera meletakan Batu Buyong di tempat nya sekarang ini. Dari Batu Buyung ini pula lalu di ikatkan rantai hingga sampai ke Pulau jawa. Sedang sebagian kecil tetap tinggal untuk mengawasi sekaligus menjaga pulau tersebut agar tidak di ambil orang lain. Penjaga inilah yang konon masih menghuni daerah dimana batu tersebut di letak kan. Kepada beliaulah orang-orang minta sesuatu untuk kemudahan yang bersifat duniawi. Saat ini Batu Buyung sudah tidak seperti keadaannya pertama kali di bawa dari tanah Jawa, yang hanya seukuran kepala bayi. Tapi sudah membesar hingga menjadi seukuran lapangan bulutangkis. Namun, yang aneh bin ajaib, letak Batu Buyong ini persis seperti sebuah batu yang memang diletakan di atas sebuah batu datar lain nya. Lebih lanjut Tono Pitoy mengatakan, menurut sejarahnya jaman dahulu, jika batu ini di dorong baramai-ramai ia akan tergeser ke lautan.Tetapi karena sekarang sudah di anggap batu berpenghuni, maka orang tak berani lagi membuktikan nya. Pitoy juga mengatakan bahwa, penghuni Batu Buyung ada 9 orang. 3 diantaranya Yaitu Kik Bedungun, Kik Bujang Tanggong ( Melayu/Islam ), Dr.Parlin dan disebelah kanan paling ujung khusus Tepekong yang dahulu yang sering didatangi orang Cina Bombai Gambar Melayang ( Cina/Khong Hu Cu ), dan Penderas kilat Di Awan ( Kulit Putih), Kata Tono Pitoy. Pendapat lain juga menyebutkan bahwa, permintaan sesuatu kepada penunggu Batu Buyong ini akan bisa di kabulkan setelah peminta melakukan ” Pertapaan yang sangat berat ujian nya. Mula-mula Pertapa di lemparkan ke Gunung Baginda, lalu oleh penghuni Gunung Batu Beginda di kembalikan ke Batu Buyong. Lempar melempar itu terjadi sebanyak tujuh kali secara berulang-ulang. Nah, jika di Pertapa berhasil melewati ujian pertama ini, maka si Pertapa akan di lemparkan ke sebuah gosong bernama GOSONG PARAK, untuk uji secara Magis. Setelah seorang Pertapa berhasil melewati ujian terakhir ini, barulah apa yang di inginkan dan di sampaikan Pertapa sebelumnya akan di kabulkan. Memang sejauh ini tak ada yang menceritakan sudah berapa banyak Pertapa yang di kabulkan permintaan nya. Namun, sebagian masyarakat tetap yakin bahwa, batu yang semula hanya berukuran kepala bayi itu telah berubah menjadi sebesar lapangan buluh tangkis itu, tetap di jaga oleh pasukan yang di kirim oleh Raja Majapahit ketika menguasai Pulau Belitung, hingga jadi terkesan angker. (BSAHIB.,Pitoytsl.)
Dibaca 466