Banda Aceh – detikperistiwa.co.id
Di tengah hiruk pikuk kehidupan dan derasnya arus pembangunan di ibu kota provinsi, masih tersimpan kisah pilu yang nyaris luput dari perhatian. Adalah Nurbaizi, warga Desa Meunasah Baet, Kecamatan Krueng Barona Jaya, yang telah 15 tahun tinggal di sebuah rumah papan sederhana di Jalan T. Iskandar, Lorong Taqwa, Dusun Safar.
Rumah yang menjadi tempat berteduhnya itu kini nyaris roboh — atap bocor, dinding rapuh, dan tiang kayu lapuk dimakan rayap. Setiap kali angin kencang bertiup, rumah tersebut bergoyang, seolah menjerit meminta pertolongan.
Namun di balik kerapuhan itu, berdiri sosok perempuan tegar bernama Nurbaizi. Dengan hati penuh sabar, ia tetap menjalani hari-harinya sembari berdoa agar rumah itu tak ambruk.
“Kalau angin kencang, saya hanya bisa berzikir. Rumah ini sudah tua, banyak bagian yang rusak. Tapi di sinilah saya dan keluarga berteduh,” ujarnya lirih, menahan haru.
Sehari-hari, Nurbaizi mengandalkan penghasilan dari usaha laundry rumahan. Pendapatannya pas-pasan, sekadar cukup untuk kebutuhan makan dan biaya hidup sehari-hari. Tak jarang, hasil jerih payahnya habis hanya untuk memperbaiki bagian rumah yang rusak, meski akhirnya kembali bocor dan rapuh.
Di tengah perjuangannya, Nurbaizi telah lama berpisah dengan suaminya. Kini ia hidup sendiri, menanggung segala beban hidup seorang diri sambil membesarkan satu-satunya anaknya yang kini sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas di Banda Aceh. Meski hidup dalam serba keterbatasan, ia tetap berjuang agar anaknya bisa meraih masa depan yang lebih baik.
“Saya ingin anak saya berhasil. Walaupun hidup susah, saya tetap berusaha agar dia bisa kuliah. Itu harapan saya satu-satunya,” katanya dengan suara bergetar.
Ia pernah mengajukan permohonan bantuan kepada kepala desa setempat, namun hingga kini belum ada hasil.
“Saya sudah pernah minta bantuan ke kepala desa, tapi katanya belum ada anggaran,” tuturnya pelan, dengan mata berkaca-kaca.
Dalam kesederhanaan hidupnya, Nurbaizi tak meminta banyak. Ia hanya ingin memiliki rumah yang layak untuk berlindung bersama anaknya.
“Saya mohon kepada Pemerintah maupun Baitul Mal Aceh, tolonglah bantu saya. Saya ingin bisa tinggal dengan tenang tanpa takut atap roboh atau tiang patah,” katanya penuh harap.
Kisah Nurbaizi menjadi cermin nyata dari kesenjangan sosial yang masih terjadi di Aceh. Ketika sebagian pejabat menikmati fasilitas mewah dari uang rakyat, masih banyak warga kecil yang hidup dalam rumah reyot dan serba kekurangan.
Menanggapi kondisi tersebut, Ketua Umum Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas, Arizal Mahdi, dengan tegas menyampaikan kritiknya kepada Pemerintah Aceh.
“Pemerintah Aceh jangan hanya sibuk membuat program seremonial dan proyek pencitraan. Di lapangan masih banyak rakyat yang hidup sengsara, seperti Ibu Nurbaizi. Ini bukti nyata bahwa keadilan sosial belum benar-benar dirasakan oleh rakyat kecil,” ujarnya dengan nada geram.
Arizal Mahdi juga menegaskan bahwa pihaknya melalui Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas akan terus memantau dan memperjuangkan hak-hak masyarakat miskin agar mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah.
“Kita tidak bisa diam melihat rakyat terus menderita. Kami meminta agar Pemerintah Aceh, Baitul Mal, dan dinas terkait segera turun ke lokasi dan memberikan bantuan nyata, bukan sekadar janji di atas kertas,” tegasnya.
Kisah Nurbaizi bukan sekadar cerita tentang rumah bocor dan kayu lapuk, melainkan seruan nurani bagi semua pihak agar kembali menatap wajah-wajah rakyat kecil yang masih berjuang di bawah bayang kemiskinan.
Semoga pemerintah membuka mata hati dan segera bertindak, karena di balik rumah reyot itu tersimpan keteguhan seorang perempuan Aceh yang terus berharap, serta amarah diam seorang rakyat kecil yang menunggu keadilan dari para pemimpinnya.
Detik Peristiwa