Ungkap Dugaan Sindikat Penyelundupan Manusia terhadap Etnis Rohingya, Dr Alpi: Polda Aceh Layak Diapresiasi.

Aceh – detikperistiwa.co.id

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasrjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Dr Alpi Sahari SH MHum mengatakan, responsibiltas Polda Aceh dalam penanganan etnis Rohingya termasuk pengungkapan sindikat penyelundupan manusia terhadap etnis Rohingya oleh sindikat transnational crime yang masuk wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia perlu diapresiasi.

“Persoalan etnis Rohingya bukan persoalan pengungsi yang mencari suaka yakni warga negara Banglades, namun merupakan persoalan terjadinya praktek penyelundupan manusia yang berimplikasi pada kedaulatan negara, Kamtibmas dan Kamdagri,” ujar Alpi, Senin (1/1/2024).

“Penanganan yang dilakukan oleh Polda Aceh berstandar pada court of condaks trasformasi Polri yang prediktif, responsibilitas dan transparansi yang berkeadilan memfaktakan bahwa telah terjadinya praktek penyelundupan manusia terhadap etnis Rohingya,” imbuh Dr Alpi yang merupakan ahli hukum pidana yang dimintakan oleh Polda Aceh khususnya Polres Aceh Timur dalam kasus maraknya WNA etnis Rohingya di wilayah Aceh.

Seharusnya, menurut Dr. Alpi terhadap Polda lainnya misalnya Polda Sumut dapat lebih responsif dalam penanganan etnis Rohingya dengan mencontoh Polda Aceh, karena jenis kejahatan ini membahayakan kepentingan Republik Indonesia

Lebih lanjut Dr. Alpi mengemukakan, bahwa sindikat penyelundupan manusia terhadap etnis Rohingya dengan melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain dengan membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah Indonesia atau keluar dari Wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain, yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan dokumen perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak, dapat dipidana karena penyelundupan manusia.

“Penyelundupan ini terfaktakan berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan Polda Aceh diperoleh alat bukti berupa persesuaian keterangan para saksi-saksi dari etnis Rohingnya dan alat bukti lainnya bahwa mereka telah membayarnya sebesar 300.000 Taka mata uang Negara Banglades jika di konversi ke mata uang Negara Indonesia sebesar Rp 42.254.400 (empat puluh dua juta dua ratus lima puluh empat ribu empat ratus rupiah),” jelasnya.

Demikian pula terhadap warga Negara Banglades maupun pengungsi COS BAZAR Putu Palong, Banglades harus membayarkan sejumlah uang yang sama yakni sebesar 300.000 Taka mata uang Negara Banglades. Kesemua penumpang di kapal memiliki Agen masing-masing untuk keluar dari Negara Banglades maupun yang dari Camp COSBAZAR di Banglades. Modus operandi pelaku sindikat transnational crime salah satunya adalah menjanjikan setelah mendapat pekerjaan berkewajiban untuk membayar ke agen. Diperoleh keterangan saksi dari etnis Rohingnya WNA Banglades bahwa telah membayar 7.000 taka kepada agen dan bila dirupiahkan sebesar lebih kurang Rp. 980.000,- (Sembilan ratrus delapan puluh ribu rupiah) dan untuk sisanya sebanyak 293.000 taka atau bila dirupiahkan sebesar Rp. 41.020.000,- (empat puluh satu juta dua puluh rupiah) yang mana nantinya sisa nya akan membayarnya pada saat sudah bekerja di Negara Malaysia, adapun cara membayarnya setiap gajian akan membayarnya sebesar 1000 ringgit atau apabila dirupiah kan sebesar Rp. 3.305.000,- (tiga juta tiga ratus lima rupiah).

Di Indonesia, lanjut Dr Alpi, berkaitan dengan kedaulatan Negara selain adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang “Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi” terdapat juga pemberlakukan hukum pidana nasional sebagaimana prinsip-prinsipnya terdapat didalam KUH Pidana.

Pertama, Asas Teritorial yang mengatur bahwa siapapun baik WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di Indonesia, terkena ketentuan hukum pidana Indonesia, baik itu KUHP maupun di luar KUHP (Pasal 2 KUHP).

Kedua, Asas Personalitas / Nasional Aktif (Pasal 5 dan 7 KUHP) yang mengatur bahwa WNI yang berada di luar negeri melakukan tindak pidana yang diancam dengan ketentuan pidana di Indoensia dan juga ditempat dia berada juga merupakan tindak pidana, maka WNI tersebut dapat dijerat dengan ketentuan hukum pidana Indonesia.

Ketiga, Asas Perlindungan / Nasional Pasif yang mengatur bahwa baik WNI maupun WNA di luar negeri melakukan tindakan, perbuatan, gerakan atau aktivitas yang membahayakan kepentingan Republik Indonesia, maka yang bersangkutan dapat dijerat dengan ketentuan hukum pidana Indonesia.

Keempat, Asas Universalitas, adalah kekuatan berlakunya hukum pidana yang ditujukan untuk menjaga kepentingan Internasional. Asas ini diperlakukan karena kemungkinan penerapam asas hukum pidana. Asas universalitas menunjukkan berlakunya hukum pidana melampaui batas kewilayahan dan asas personalitas sebagai pengecualiannya.

“Dalam hal ini, hukum pidana Indonesia berlaku bagi Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana baik dilakukan di dalam wilayah Indonesia maupun di luar negeri. Artinya kekuatan hukum pidana berlaku bagi siapapun dan dimanapun tindak pidana dilakukan,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kapolda Aceh Irjen Ahmad Kartiko meminta UNHCR untuk bertanggung jawab atas gelombang pengungsi Rohingya yang berdatangan ke Aceh.

Diketahui, saat ini pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh ditempatkan sementara di Lhokseumawe tersisa 507 orang dan tujuh orang kabur dari tempat penampungan. Kemudian 341 orang di Kabupaten Pidie tepatnya di Yayasan Mina Raya dan di Desa Kulee sebanyak 232 orang.

Achmad menuturkan dari hasil penyelidikan para pengungsi yang datang ke Aceh ini rata-rata memiliki identitas dari UNHCR yang berbahasa Bangladesh.

“Kita juga menemukan bahwa orang Rohingya itu memiliki kartu UNHCR yang diterbitkan di Bangladesh sana dengan bahasa Bangladesh, artinya apa? ini bukan tanggung jawab kita semata tapi UNHCR juga harus bertanggung jawab kenapa Rohingya ini lolos dari Bangladesh sana,” kata Achmad kepada wartawan, Kamis (30/11), dikutip dari laman CNNIndonesia.

Achmad juga menyebut pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh ini tidak murni mengungsi. Pasalnya, mereka sudah memiliki tempat atau kamp pengungsian di Bangladesh.

Mereka diduga datang ke Aceh dengan membayar kapal milik warga Bangladesh untuk bisa masuk ke Indonesia tanpa melalui prosedur izin yang resmi.

Karenanya, Achmad menduga ada upaya penyelundupan manusia dalam skala besar dan hal itu sudah diakui oleh seorang warga Bangladesh yang ditangkap beberapa waktu lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://detikperistiwa.co.id/wp-content/uploads/2024/03/IMG-20240311-WA0045.jpg