Jakarta – detikperistiwa.co.id
Malam itu, Jakarta menyajikan panorama kota yang tak pernah lepas dari hiruk-pikuknya. Di bawah terangnya lampu jalan, jalanan yang dipenuhi kendaraan dan pejalan kaki tampak bergerak tanpa henti. Di salah satu sudut kota, tak jauh dari kampus Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, ada sebuah warung kopi sederhana yang menjadi saksi pertemuan dua orang dengan dunia dan cerita hidup yang berbeda.
Pak Eko Purwadi, seorang pria berusia 46 tahun yang dikenal sebagai Komandan Sekuriti di kampus tersebut, duduk dengan tenang di meja pojok warung. Meskipun sudah cukup berumur, wajahnya tetap tampak ramah, penuh kedamaian. Di tangannya, sebuah cangkir kopi hitam mengepul hangat, dengan aroma yang membawa ketenangan. Kopi, baginya, lebih dari sekadar minuman; itu adalah momen untuk merefleksikan kehidupan dan kenangan yang tak pernah pudar.
Pak Eko adalah pria yang berasal dari keluarga dengan nilai-nilai tradisional. Ayahnya, yang berasal dari Yogyakarta, menanamkan ketegasan, sementara ibunya, dari Wonogiri, mengajarkan kelembutan dan kasih sayang. Dari kedua orang tuanya, Pak Eko belajar tentang nilai kekeluargaan, tanggung jawab, dan pentingnya hidup dengan sederhana. Ia selalu diajarkan untuk mensyukuri setiap momen dan melihat kebahagiaan dalam hal-hal kecil yang ada di sekelilingnya.
Di hadapannya duduk Nursalim, seorang sosok muda yang penuh semangat. Nursalim adalah Ketua Ikatan Wartawan Online Indonesia Provinsi Kepulauan Riau dan seorang mahasiswa S3 di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka. Meski muda, Nursalim membawa semangat yang tak terbendung, memiliki pandangan luas tentang kehidupan dan cita-cita. Sebagai seorang wartawan, ia sering menghadapi tantangan dunia yang penuh gejolak, namun selalu berusaha menjaga integritas dan prinsip dalam setiap langkahnya. Keinginannya untuk belajar dan berkembang begitu besar, begitu pula tekadnya untuk mengubah dunia melalui tulisan.
Malam itu, mereka duduk bersama, berbagi secangkir kopi dan cerita di warung kopi kecil yang sudah cukup lama menjadi tempat pertemuan bagi berbagai tokoh. Meski usia mereka terpaut jauh, keduanya memiliki pemahaman dan penghargaan yang mendalam satu sama lain. Kebersamaan mereka adalah tentang berbagi pengalaman, berbicara tentang tantangan hidup, dan mengungkapkan kenangan-kenangan yang membawa kedamaian.
“Kamu tahu, Nursalim,” Pak Eko mulai membuka percakapan, “hidup itu seperti secangkir kopi ini. Terkadang terasa pahit, namun setelah kita menikmatinya, ada kehangatan yang datang menyusul.”
Nursalim mengangguk dan meneguk kopinya perlahan. Ia tahu, setiap kata dari Pak Eko selalu penuh makna, mengandung pelajaran hidup yang tak ternilai. Meski Pak Eko jarang berbicara banyak, setiap ucapannya selalu terasa berat dengan pengalaman dan kebijaksanaan.
“Saya selalu percaya bahwa kebahagiaan sejati bukan tentang apa yang kita punya, Pak Eko,” kata Nursalim dengan suara tenang. “Tapi tentang apa yang kita beri kepada orang lain, bagaimana kita memberi manfaat kepada sesama.”
Pak Eko tersenyum mendengarnya. “Betul sekali,” katanya. “Kebahagiaan itu datang ketika kita bisa berbagi, ketika kita bisa memberi tanpa mengharapkan balasan. Itulah yang saya pelajari sepanjang hidup.”
Keduanya berbicara tentang banyak hal malam itu—tentang keluarga, pekerjaan, dan impian yang belum tercapai. Pak Eko bercerita tentang pertemuannya dengan Karlina, istrinya yang telah menemaninya selama dua puluh tahun lebih. “Karlina adalah teman hidup saya,” kata Pak Eko. “Kami bertemu di tahun 2005, dan sejak itu, kami selalu saling mendukung. Tanpa dia, saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan.”
Nursalim mendengarkan dengan seksama, menghargai setiap kata yang keluar dari mulut Pak Eko. Ia tahu bahwa di balik setiap cerita sederhana, tersimpan nilai hidup yang tak ternilai harganya. “Keluarga seperti kalian adalah contoh nyata bahwa kebahagiaan itu tidak selalu datang dari hal-hal besar, tetapi dari kebersamaan dan cinta yang tulus,” kata Nursalim dengan penuh rasa hormat.
Pak Eko tersenyum, matanya berbinar saat membicarakan anak-anaknya. “Kami sangat bangga dengan anak-anak kami,” katanya. Fitiyani, anak pertama mereka yang kini sedang kuliah di Universitas Bina Nusantara, dan Fani Kalisa Putri yang sedang duduk di kelas XI SMP, sudah menunjukkan banyak prestasi. “Mereka adalah kebanggaan kami,” tambahnya dengan nada penuh kasih.
Malam itu, warung kopi semakin sepi. Obrolan mereka berlanjut, namun suasana tetap hangat. Dalam perbincangan yang sederhana ini, mereka menemukan kenyamanan, kedamaian, dan pengertian satu sama lain. Jakarta yang sibuk tetap bergerak di luar sana, namun di sudut kecil itu, dua pria dengan cerita hidup yang berbeda saling berbagi pengalaman dan kenangan yang tak bisa dilupakan.
Akhirnya, mereka berdua bangkit, bersiap untuk meninggalkan warung kopi. Mereka saling berpamitan, namun tak ada kata-kata yang perlu diucapkan lebih dari itu. Kenangan indah yang mereka bagi tentang kopi, keluarga, dan perjalanan hidup akan terus hidup di dalam hati mereka.
Di bawah lampu jalan yang terus menerangi, Pak Eko dan Nursalim melangkah menuju masa depan yang penuh harapan, masing-masing dengan tujuan yang berbeda. Mereka tahu bahwa hidup bukanlah tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi tentang seberapa besar kita memberi dan membagikan kebahagiaan kepada orang lain.