Bireuen – detikperistiwa.co.id
Ketika angka resmi menunjukkan bahwa 60,3% penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan pada tahun 2024, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: kemajuan ekonomi selama ini belum menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. Lebih dari 171 juta jiwa—setara dengan separuh populasi bangsa ini—hidup dalam keterbatasan dan ketidakpastian.
Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah wajah-wajah saudara kita, anak-anak yang putus sekolah, para buruh harian yang upahnya tak mampu membeli kebutuhan dasar, petani kecil yang terus digilas harga pasar, dan kaum lansia yang terabaikan. Ini adalah jeritan sunyi yang selama ini tenggelam di balik gegap gempita angka pertumbuhan ekonomi.
Menguji Hati Nurani Bangsa
Di tengah narasi “Indonesia Maju”, mengapa masih begitu banyak rakyat yang tertinggal? Jawabannya sederhana namun menyakitkan: pembangunan kita selama ini terlalu berorientasi pada angka makro, bukan pada kualitas hidup rakyat jelata.
Program penanggulangan kemiskinan berjalan, tapi kerap kehilangan arah karena tidak menyentuh akar masalah: ketimpangan akses terhadap pendidikan, ketenagakerjaan yang layak, dan jaminan perlindungan sosial yang nyata. Upaya reformasi setengah hati hanya akan membuat rakyat terus terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.
Standar yang Harus Ditinggikan
Sebagai negara berpendapatan menengah ke atas, Indonesia tak bisa lagi memakai standar lama dalam mengukur kemiskinan. Dengan pendapatan nasional bruto sebesar US$4.580 per kapita, patokan garis kemiskinan internasional yang relevan adalah US$6,85 per hari. Bila ukuran ini yang digunakan, tampaklah dengan telanjang betapa rapuhnya fondasi kesejahteraan kita.
Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas menyerukan, kemiskinan tidak boleh direduksi menjadi sekadar angka kecil di laporan tahunan. Harus ada keberanian politik untuk membongkar ketidakadilan struktural yang selama ini membelenggu mayoritas rakyat.
Desakan Perubahan Sistemik
Kami mendesak pemerintah untuk tidak lagi bersembunyi di balik retorika optimisme tanpa dasar. Reformasi sistem ketenagakerjaan yang menciptakan lapangan kerja layak dan bermartabat harus dipercepat. Sistem pendidikan nasional harus direvitalisasi agar benar-benar menjadi alat mobilitas sosial, bukan sekadar mesin penghasil ijazah. Dan perlindungan sosial harus diperluas tanpa diskriminasi, menjadi hak dasar setiap warga negara, bukan sekadar program politis.
Menatap Masa Depan dengan Keberanian
Bangsa ini lahir dari semangat perjuangan melawan ketidakadilan. Kini, kita ditantang untuk sekali lagi membuktikan keberpihakan kita. Membiarkan puluhan juta rakyat hidup dalam kemiskinan adalah pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Ini saatnya menata ulang prioritas nasional: menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai pusat dari seluruh kebijakan.
Sejarah akan mencatat: apakah kita memilih berdiam diri dalam kepuasan semu, atau berani berdiri membela mereka yang selama ini terpinggirkan.
Bangkitlah Indonesia. Reformasi bukan pilihan, melainkan keharusan.
Tentang Penulis:
Arizal Mahdi adalah Ketua Umum Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas, organisasi kemanusiaan yang berkomitmen untuk memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat Indonesia tanpa batas wilayah dan golongan.
Detik Peristiwa