Denpasar – detikperistiwa.co.id
Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali kembali menjadi sorotan setelah menetapkan Upah Minimum Regional (UMR) 2025 sebesar Rp2.996.561. Sementara itu, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di beberapa daerah hanya sedikit lebih tinggi, dengan Kabupaten Badung sebagai pusat pariwisata memiliki UMK tertinggi sebesar Rp3.534.338, diikuti oleh Kota Denpasar dengan Rp3.298.116. Kabupaten lainnya seperti Gianyar, Tabanan, Jembrana, Karangasem, Klungkung, Bangli, dan Buleleng masih jauh dari angka yang dianggap layak untuk menjamin kesejahteraan pekerja.
Ironisnya, meskipun pertumbuhan ekonomi Bali hanya mencapai 5,48% pada 2024, jumlah wisatawan terus meningkat pesat. Tahun lalu, lebih dari 6,3 juta turis asing mengunjungi Bali, meningkat 20,1% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencatat 5,2 juta kunjungan. Namun, lonjakan pariwisata ini tidak diiringi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Sektor akomodasi serta makanan dan minuman, yang menjadi pilar utama ekonomi Bali, tidak mengalami pertumbuhan signifikan. Alih-alih memperbaiki taraf hidup pekerja lokal, pertumbuhan ekonomi justru melambat dibandingkan 5,71% pada tahun sebelumnya.
Upah di Bawah Standar: Warga Bali Diperbudak di Tanah Sendiri?
Ketua Umum Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas, Arizal Mahdi, menyoroti kebijakan ini sebagai bentuk pengabaian hak-hak pekerja lokal. Ia mengecam praktik pengupahan yang jauh di bawah standar oleh sejumlah pengusaha, terutama pihak asing, yang menggaji pekerja lokal dengan nominal di bawah standar yang telah ditetapkan.
“Ini sudah keterlaluan! Rakyat Bali tidak boleh diperlakukan seperti hamba sahaya di tanah mereka sendiri. Pemerintah Bali harus tegas terhadap pengusaha asing yang mempekerjakan pribumi dengan upah di bawah standar. Ini adalah bentuk eksploitasi yang tidak boleh dibiarkan!” tegas Arizal.
Menurutnya, pemerintah seharusnya memastikan bahwa sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi Bali benar-benar membawa manfaat nyata bagi masyarakat lokal. Jika tidak, Bali hanya akan menjadi surga bagi wisatawan asing, sementara rakyatnya sendiri terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan eksploitasi.
Paradoks Pariwisata: Wisatawan Membludak, Rakyat Bali Tetap Menderita
Pemerintah Bali berdalih bahwa penetapan UMR dan UMK telah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kebutuhan hidup layak, keberlanjutan usaha, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa kesejahteraan pekerja lokal tidak mengalami perbaikan yang sepadan dengan pesatnya perkembangan industri pariwisata.
“UMR yang rendah ini mencerminkan ketidakseriusan pemerintah dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya sendiri. Bagaimana mungkin daerah yang menjadi destinasi wisata kelas dunia masih memberikan upah yang tidak manusiawi bagi pekerja lokal?” ungkap seorang pekerja pariwisata yang enggan disebutkan namanya.
Kritik ini semakin menguat ketika melihat perbandingan biaya hidup di Bali yang terus meningkat, terutama di wilayah-wilayah strategis seperti Kuta, Seminyak, dan Ubud. Harga makanan, sewa tempat tinggal, serta kebutuhan pokok lainnya melonjak drastis, membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar dengan gaji yang tidak memadai.
Pemerintah Bali Harus Bertindak Tegas!
Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas menegaskan bahwa pemerintah Bali harus segera merevisi kebijakan upah minimum, memperketat pengawasan terhadap pengusaha yang membayar di bawah standar, serta memastikan bahwa keuntungan industri pariwisata dapat benar-benar dinikmati oleh rakyat Bali.
“Kami menuntut pemerintah Bali untuk tidak hanya menjadi pelayan bagi investor asing, tetapi juga bertindak sebagai pelindung rakyatnya sendiri. Jika tidak ada kebijakan yang berpihak kepada masyarakat, ketimpangan ekonomi di Bali akan semakin parah!” pungkas Arizal Mahdi.
Dengan situasi yang semakin timpang ini, muncul pertanyaan besar: Apakah Bali benar-benar Pulau Dewata bagi semua, atau hanya bagi segelintir orang yang berkuasa?
Detik Peristiwa