Bireuen – detikperistiwa.co.id
Rencana pemerintah pusat untuk membentuk empat batalyon baru Tentara Nasional Indonesia (TNI) di wilayah Aceh mendapat perhatian serius dari Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas, sebuah organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada advokasi perdamaian dan perlindungan hak-hak warga. Ketua Umumnya, Arizal Mahdi, menilai langkah tersebut sebagai pelanggaran langsung terhadap Nota Kesepahaman Helsinki 2005 (MoU Helsinki) serta sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas dan kepercayaan masyarakat Aceh.
“Rakyat Aceh telah membayar harga yang sangat mahal untuk meraih perdamaian. Rencana ini tidak hanya melanggar MoU secara hukum, tetapi juga merupakan pengingkaran terhadap proses rekonsiliasi yang dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun,” ujar Mahdi.
Rencana penambahan batalyon tersebut melibatkan pembentukan satuan di empat kabupaten: Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil. Satuan-satuan ini nantinya akan berada di bawah komando Kodam Iskandar Muda. Padahal, MoU Helsinki secara tegas membatasi jumlah personel militer di Aceh hanya sebanyak 14.700, dengan peran terbatas untuk menjaga pertahanan dari ancaman eksternal. Menurut Pasal 1, Paragraf 1 dari MoU, “Kehadiran kekuatan militer di Aceh harus dibatasi dan tidak boleh melebihi jumlah yang telah disepakati dalam MoU.”
“Langkah ini bertentangan dengan semangat rekonsiliasi dan membangkitkan kembali kekhawatiran lama di kalangan masyarakat tentang potensi intimidasi serta penyalahgunaan wewenang militer,” tegas Mahdi. “Aceh bukan lagi zona konflik. Apa yang paling dibutuhkan masyarakat saat ini adalah pembangunan dan keadilan, bukan peningkatan kekuatan bersenjata.”
Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas juga menyampaikan kekhawatiran mendalam mengenai dampak sosial dan psikologis yang bisa timbul, mengingat masyarakat Aceh masih dalam tahap pemulihan dari trauma konflik. “Hadirnya kekuatan militer dalam jumlah besar berisiko membuka kembali luka lama. Ini adalah tindakan yang sangat tidak bijak,” lanjut Mahdi.
Ia mendesak pemerintah pusat dan lembaga-lembaga pengambil kebijakan untuk meninjau ulang rencana tersebut secara terbuka dan mendengarkan aspirasi masyarakat Aceh. “Kami mengajak komunitas internasional dan organisasi hak asasi manusia untuk memantau situasi ini dengan cermat dan memastikan bahwa ketentuan MoU Helsinki dihormati dan dijalankan,” tambah Mahdi. Menurut Mahdi, komitmen terhadap perdamaian harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.
“Kami mengajak semua pihak untuk tidak mengorbankan masa depan Aceh demi kepentingan sesaat. Keputusan ini perlu ditinjau ulang secara menyeluruh. Perdamaian yang telah diperjuangkan dengan susah payah harus dijaga, bukan diabaikan,” pungkas Mahdi.
Detik Peristiwa