Rodrigo Duterte Berpotensi Jadi Mantan Kepala Negara Asia Pertama yang Diadili di ICC

Manila – detikperistiwa.co.id

Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, berpotensi menjadi mantan kepala negara Asia pertama yang diadili di Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) di Den Haag, Belanda. Jika proses hukum ini berlanjut, kasus tersebut akan menjadi preseden bersejarah, karena merupakan pertama kalinya ICC menangani kasus yang tidak berkaitan dengan kejahatan perang atau kekerasan politik terkait pemilu.

Seorang analis hukum internasional menegaskan bahwa persidangan terhadap Duterte akan menandai babak baru dalam peradilan pidana internasional.

“Jika pengadilan ini benar-benar berlangsung, maka ini akan menjadi langkah signifikan bagi ICC dalam memperluas cakupan yurisdiksinya terhadap dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di luar konteks perang atau konflik elektoral,” ujarnya kepada media setempat.

Tuduhan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Duterte menjadi sasaran penyelidikan ICC atas kebijakan “perang terhadap narkoba” (war on drugs) yang diterapkannya selama menjabat sebagai Presiden Filipina dari 2016 hingga 2022. Kampanye ini telah menimbulkan kecaman luas dari komunitas internasional dan organisasi hak asasi manusia, mengingat jumlah korban tewas yang diperkirakan mencapai ribuan orang, sebagian besar dari kalangan masyarakat miskin.

Pada Maret 2018, Duterte menarik Filipina dari Statuta Roma, instrumen hukum yang menjadi dasar pembentukan ICC. Namun, pengadilan tetap mengklaim yurisdiksi atas dugaan kejahatan yang terjadi sebelum penarikan tersebut mulai berlaku pada Maret 2019.

ICC secara resmi membuka penyelidikan terhadap Duterte pada 2021, meskipun pemerintah Filipina menolak bekerja sama dan menolak legitimasi pengadilan internasional tersebut.

Ujian Besar bagi Hukum Internasional

Apabila persidangan Duterte di ICC benar-benar terlaksana, maka ini akan menjadi ujian besar bagi supremasi hukum internasional serta komitmen dunia dalam menegakkan keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.

Pemerintahan Filipina saat ini, yang dipimpin oleh Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr., secara resmi menyatakan bahwa negara tersebut tidak lagi mengakui yurisdiksi ICC. Namun, kelompok advokasi hak asasi manusia, keluarga korban, dan komunitas internasional terus menyerukan pertanggungjawaban hukum bagi para pelaku pelanggaran.

“Ini bukan hanya soal politik atau kepemimpinan, tetapi tentang keadilan bagi ribuan keluarga yang kehilangan orang-orang terkasih mereka tanpa proses hukum yang layak,” ujar Jose Manuel Diokno, seorang pengacara HAM terkemuka di Filipina.

Dinamika Politik dan Dampak Global

Potensi persidangan terhadap Duterte juga dapat mengguncang dinamika politik domestik Filipina, mengingat mantan presiden tersebut masih memiliki basis pendukung yang kuat. Sejumlah politisi dan pejabat yang pernah bekerja di bawah pemerintahannya juga dikhawatirkan akan terseret dalam proses hukum ini.

Dari perspektif global, kasus Duterte dapat menjadi yurisprudensi baru bagi ICC dalam menangani kejahatan terhadap kemanusiaan di luar konteks perang. Hal ini juga dapat memperkuat mekanisme akuntabilitas internasional dalam menghadapi pemimpin negara yang diduga melanggar hak asasi manusia di wilayahnya sendiri.

Hingga saat ini, tim hukum Duterte belum memberikan tanggapan resmi terkait kemungkinan persidangan di ICC. Namun, para pengamat menilai bahwa jika kasus ini berlanjut, dunia akan menyaksikan salah satu persidangan internasional paling signifikan dalam sejarah modern, yang dapat mendefinisikan kembali batasan hukum internasional dan perlindungan hak asasi manusia di masa depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://detikperistiwa.co.id/wp-content/uploads/2024/03/IMG-20240311-WA0045.jpg