Banda Aceh – detikperistiwa.co.id
Gejolak moral kembali mencoreng wajah ibu kota Serambi Mekkah. Dalam razia gabungan yang digelar pada Selasa dini hari (15/4/2025), enam pasangan non-muhrim dan sejumlah pengguna narkoba berhasil diamankan dari sebuah hotel di kawasan Peunayong, Banda Aceh. Razia dipimpin langsung oleh Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, yang menyebut kegiatan tersebut sebagai respons atas maraknya laporan pelanggaran syariat Islam.
Operasi gabungan ini menyasar dua lokasi yang dinilai rawan pelanggaran: bekas Terminal Keudah dan beberapa hotel di pusat kota. Di lokasi pertama, petugas menemukan minuman keras serta sepasang pria dan wanita yang mengaku telah menikah siri. Keduanya tetap dibawa ke kantor polisi syariah untuk pendalaman data.
Namun pemandangan lebih mencengangkan terjadi di hotel yang dirazia tak lama kemudian. Di sana, enam pasangan non-muhrim tengah berada dalam satu kamar dan diduga melakukan perbuatan mesum. Tes urine menunjukkan enam dari dua belas orang yang diamankan positif menggunakan narkotika.
“Kita mendapati sejumlah muda-mudi dalam kondisi khalwat, ikhtilat, bahkan ada indikasi pesta ekstasi. Mereka bukan pasangan sah, dan enam di antaranya terbukti positif narkoba,” ujar Illiza dalam konferensi pers di Balai Kota Banda Aceh.
Menurut Illiza, pendekatan yang digunakan dalam razia dilakukan secara humanis. Ia mengaku sempat berdialog dengan para pelaku. Beberapa mengaku nekat karena terhimpit kebutuhan ekonomi, bahkan ada yang menyebut mendapat bayaran sebesar Rp 400 ribu. Ada pula yang mengaku melakukannya karena jauh dari istri atau pasangan sah.
“Tadi malam saya sempat ngobrol dengan mereka. Alasannya beragam, dari keterpaksaan ekonomi, kesepian, hingga karena tidak adanya pengawasan dari keluarga,” katanya.
Kritik Pedas dari Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas
Merespons hasil razia yang mengejutkan publik ini, Ketua Umum Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas, Arizal Mahdi, melontarkan kritik tajam terhadap kinerja Pemerintah Aceh dalam mengawal syariat Islam.
“Ini bukan sekadar pelanggaran individu. Ini cermin dari rusaknya sistem dan gagalnya pemerintah Aceh dalam menjalankan amanah menjaga marwah syariat. Mereka abai, dan rakyat yang akhirnya menanggung kehancurannya,” tegas Arizal.
Menurut Arizal, apa yang terjadi adalah puncak gunung es dari berbagai pembiaran yang selama ini terjadi. Ia menyebut aparat penegak syariat hanya bersifat seremonial dan tidak menyentuh akar persoalan.
“Kalau pemerintah hanya muncul saat razia, sementara akar masalah seperti ekonomi, narkoba, dan dekadensi moral dibiarkan, maka ini hanya akan jadi tontonan tahunan. Syariat tak boleh dipertontonkan. Ia harus hidup dan dijaga,” imbuhnya.
Ia juga mendesak adanya evaluasi total terhadap pengawasan hotel dan tempat hiburan di Banda Aceh serta memperkuat peran keluarga, pendidikan, dan tokoh agama dalam membina akhlak generasi muda.
Refleksi: Menjaga Syariat, Menjaga Martabat
Razia dini hari itu tak hanya membuka mata tentang pelanggaran syariat, tapi juga menyingkap krisis nilai yang menggerogoti generasi Aceh. Di tengah kebanggaan sebagai daerah dengan status kekhususan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam perlahan terkikis.
Kini, harapan tertumpu pada tindakan nyata, bukan sekadar retorika. Syariat Islam bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk dihayati, dijalankan, dan dijaga dengan penuh tanggung jawab oleh semua elemen—mulai dari pemimpin hingga masyarakat biasa.
Detik Peristiwa